Ketua MA: Perkara Lingkungan Jadi Tantangan Besar Hakim Semua Negara

Kamis, 04 November 2021 - 19:47 WIB
Ketua MA M Syarifuddin menilai, penanganan perkara lingkungan saat ini menjadi tantangan terbesar para hakim baik di tingkat nasional, regional maupun global. Foto/Ist
JAKARTA - Penanganan perkara lingkungan saat ini menjadi tantangan terbesar para hakim baik di tingkat nasional, regional maupun global. Tantangan tersebut tampak begitu nyata di tengah perubahan iklim yang tidak mengenal batas serta mengancam keamanan global.

“Terutama tentang peran kita sebagai hakim dan bagaimana kita dapat memenuhi hak aspirasional untuk hidup di lingkungan yang bebas dari pencemaran,” kata Ketua Mahkamah Agung (MA) M Syarifuddin saat membuka acara workshop online tentang Lingkungan Hidup selama empat hari yang mengambil tema “Towards Climate Justice: Challenge, Strategy and Future Trend in Climate Change Adjudication” untuk para hakim yang tergabung dalam forum Council of ASEAN Chief Justices (CACJ), Kamis (4/11/2021).

Menurut Ketua Council of ASEAN Chief Justices (CACJ) ini, salah satu dampak perubahan iklim ialah terjadinya peningkatan frekuensi cuaca ekstrem yang menimbulkan bencana seperti banjir dan badai. Kondisi itu dinilai telah memengaruhi prasarana kota dan kabupaten, termasuk dalam hal akses air minum bersih juga sumber daya lain yang menunjang pembangunan berkelanjutan. “Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah pelepasan gas rumah kaca oleh manusia ke atmosfer,” tambahnya.



Oleh karena itu, melalui forum yang mempertemukan hakim se-ASEAN dan para pakar lingkungan hidup, Syarifuddin berharap mampu menghasilkan pikiran penting bagi para hakim dalam penerapan prinsip lingkungan.“Workshop seperti ini adalah kesempatan langka untuk mengambil hikmah mengatasi berbagai tantangan dan berpikir out of the box,” harapnya.



Syarifuddin memandang penting seluruh rangkaian kegiatan untuk berbagi pengalaman terkait penanganan perkara lingkungan yang dijalankan oleh masing-masing negara ASEAN. “Terutama perkara di bidang kehutanan, kelautan, dan energi terbarukan. Hal ini merupakan tantangan bersama di tingkat global dan nasional,” urainya.



Syarifuddin mengakui, perkara ligitasi perubahan iklim di Indonesia merupakan perkara baru dan unik. Hal ini karena klaim perubahan iklim dikejar sebagai ganti rugi sekunder di bawah beberapa klaim gugatan primer lainnya seperti pembalakan liar dan gugatan kebakaran hutan. “Kedua, alih-alih mengajukan tuntutan atas kerusakan iklim, pemerintah yang menjadi penggugat dalam perkara-perkara tersebut, terutama dalam perkara pembalakan liar dan kebakaran hutan, justru mengejar tuntutan biaya pengurangan emisi,” lanjutnya.

Dengan cara di atas, imbuhnya, pengadilan Indonesia telah membebaskan para penggugat dari tugas yang tampaknya mustahil untuk membuktikan hubungan kausal antara emisi gas rumah kaca oleh tergugat dan kerugian penggugat akibat perubahan iklim. “Dengan demikian, putusan pengadilan Indonesia menunjukkan bahwa litigasi perubahan iklim berbasis gugatan memang dimungkinkan,” tandasnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(cip)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More