Dinilai Tak Tepat, PP Fatayat NU Minta Kartu Prakerja Dikaji Ulang
Rabu, 22 April 2020 - 08:20 WIB
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU), Anggia Erma Rini meminta pemerintah mengevaluasi kembali program Kartu Prakerja yang saat ini sedang berlangsung.
"Sebelum terlalu jauh, pemerintah harus mendengar betul masukan berbagai elemen masyarakat terhadap pelaksanaan program Prakerja yang sedang berjalan di masa pandemi ini," ujar Anggia dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Rabu (22/4/2020).
Menurut Anggia, banyak masalah terjadi dan banyak hal yang tidak tepat diterapkan dalam mekanisme Kartu Prakerja di situasi sekarang. "Fatayat NU menerima beragam laporan dan keluhan masyarakat terkait proses Prakerja ini. Poinnya pada tiga aspek. Pertama, pelatihan online dalam Prakerja tidak tepat diterapkan saat ini dan sebaiknya dihapus saja. Kedua, daftarnya susah dan sulit masuk. Ketiga, yang mendesak dibutuhkan masyarakat sekarang adalah sembako, bukan pelatihan," jelas Anggia.
Selain itu, Anggia menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat, terutama pekerja informal, saat ini dalam kondisi tidak mempunyai penghasilan. "Semua pekerja informal, pedagang, buruh, penjual jasa, terpapar dampak pandemi. Sebaiknya program Prakerja lebih fokus menyasar pada apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan lagi konsep pelatihan," tuturnya.
Sejumlah keluhan juga menyoal mekanisme pendaftaran. Banyak kelompok masyarakat telah mencoba daftar Prakerja tapi selalu gagal. "Pendaftaran dan pelatihan secara online itu segmennya hanya di perkotaan saja. Sementara sebagian besar masyarakat kita wilayah pedesaan. Itu ribet jika harus online. Tidak semua paham, tidak semua aksesnya lancar, terjangkau internet, dan tidak semua punya kuota," tandas Anggia.
Dengan kondisi tersebut, Anggia menekankan betul agar pemerintah responsif dan gerak cepat menghadapi trial and error di lapangan. "Pemerintah harus mengevaluasinya. Teknis di lapangan menunjukkan mekanisme sekarang riskan dilanjutkan. Anggaran pelatihan Prakerja lebih baik dialokasikan untuk menambah kuota Prakerja. Lalu perjelas pembagian kuota untuk tiap provinsi dari kuota yang ada saat ini. Itu lebih bermanfaat secara langsung," papar Anggia.
Tidak hanya itu, Anggia juga meminta pemerintah agar mempermudah sistem pendaftaran Prakerja secara online. "Tim program Prakerja harus lebih siap. Pendaftaran harus lebih mudah. Faktanya memang akses ke situs sering gagal, dan banyak dikomplain ribet. Situasi pandemik sekarang jangan disamakan dengan rancangan awal dulu. Ini sangat berbeda. Pemerintah harus gerak cepat mengevaluasi peruntukannya," kata Anggia.
Tidak kalah penting, Anggia meminta agar Project Management Office (PMO) selaku pengelola program bertindak lebih transparan. "Ini bukan uang sedikit. PMO jangan main-main dengan anggaran negara. Semua orang menyoroti. PMO harus benar-benar transparan pengelolaannya. Laporkan setiap kendala, hambatan, pembiayaan, dan pertanggungjawabannya sedetail mungkin," tutupnya.
"Sebelum terlalu jauh, pemerintah harus mendengar betul masukan berbagai elemen masyarakat terhadap pelaksanaan program Prakerja yang sedang berjalan di masa pandemi ini," ujar Anggia dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Rabu (22/4/2020).
Menurut Anggia, banyak masalah terjadi dan banyak hal yang tidak tepat diterapkan dalam mekanisme Kartu Prakerja di situasi sekarang. "Fatayat NU menerima beragam laporan dan keluhan masyarakat terkait proses Prakerja ini. Poinnya pada tiga aspek. Pertama, pelatihan online dalam Prakerja tidak tepat diterapkan saat ini dan sebaiknya dihapus saja. Kedua, daftarnya susah dan sulit masuk. Ketiga, yang mendesak dibutuhkan masyarakat sekarang adalah sembako, bukan pelatihan," jelas Anggia.
Selain itu, Anggia menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat, terutama pekerja informal, saat ini dalam kondisi tidak mempunyai penghasilan. "Semua pekerja informal, pedagang, buruh, penjual jasa, terpapar dampak pandemi. Sebaiknya program Prakerja lebih fokus menyasar pada apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan lagi konsep pelatihan," tuturnya.
Sejumlah keluhan juga menyoal mekanisme pendaftaran. Banyak kelompok masyarakat telah mencoba daftar Prakerja tapi selalu gagal. "Pendaftaran dan pelatihan secara online itu segmennya hanya di perkotaan saja. Sementara sebagian besar masyarakat kita wilayah pedesaan. Itu ribet jika harus online. Tidak semua paham, tidak semua aksesnya lancar, terjangkau internet, dan tidak semua punya kuota," tandas Anggia.
Dengan kondisi tersebut, Anggia menekankan betul agar pemerintah responsif dan gerak cepat menghadapi trial and error di lapangan. "Pemerintah harus mengevaluasinya. Teknis di lapangan menunjukkan mekanisme sekarang riskan dilanjutkan. Anggaran pelatihan Prakerja lebih baik dialokasikan untuk menambah kuota Prakerja. Lalu perjelas pembagian kuota untuk tiap provinsi dari kuota yang ada saat ini. Itu lebih bermanfaat secara langsung," papar Anggia.
Tidak hanya itu, Anggia juga meminta pemerintah agar mempermudah sistem pendaftaran Prakerja secara online. "Tim program Prakerja harus lebih siap. Pendaftaran harus lebih mudah. Faktanya memang akses ke situs sering gagal, dan banyak dikomplain ribet. Situasi pandemik sekarang jangan disamakan dengan rancangan awal dulu. Ini sangat berbeda. Pemerintah harus gerak cepat mengevaluasi peruntukannya," kata Anggia.
Tidak kalah penting, Anggia meminta agar Project Management Office (PMO) selaku pengelola program bertindak lebih transparan. "Ini bukan uang sedikit. PMO jangan main-main dengan anggaran negara. Semua orang menyoroti. PMO harus benar-benar transparan pengelolaannya. Laporkan setiap kendala, hambatan, pembiayaan, dan pertanggungjawabannya sedetail mungkin," tutupnya.
(kri)
tulis komentar anda