Guru Besar Undip: Kemasan Plastik Makanan dan Minuman Harus Bebas Zat BPA
Sabtu, 02 Oktober 2021 - 23:45 WIB
JAKARTA - Kemasan plastik untuk makanan dan minuman harus bebas zat kimia berbahaya Bisphenol A (BPA). Sebab, migrasi zat kimia tersebut ternyata lebih cepat prosesnya. Pemicunya karena goresan dan panas.
Hal ini diungkapkan Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip), Andi Cahyo Kumoro. Menurut dia, jika kemasan plastik yang mengandung BPA mengalami pemanasan dan goresan maka migrasi zat BPA akan lebih cepat. “Dibandingkan jika tidak ada guncangan atau tidak ada perlakuan thermal begitu,” ujarnya, Sabtu (2/10/2021).
Salah satu kemasan plastik yang mempunyai potensi besar terjadi migrasi BPA adalah galon isi ulang dengan kode 7 karena berbahan dasar polycarbonat. Kemasan ini wajib menjadi perhatian serius. Sebab dalam proses distribusinya, kerap terpapar panas matahari, belum lagi saat pencucian kerap disikat dan disemprot dengan air panas juga. Kondisi ini memenuhi syarat proses cepatnya migrasi BPA. Selain itu penggunaannya di masyarakat juga sangat besar.
Selain goresan dan panas, kata Andri, cara lain zat BPA bermigrasi ke dalam makanan dan minuman juga bisa karena minyak. "Jangan sampai ada goresan, juga jangan menyimpan kemasan plastik terlalu lama. Saat plastik mulai rapuh maka mempermudah migrasi BPA. Artinya kalau produknya mengandung minyak atau mungkin kemasannya sudah lama, ditambah ada pemanasan, penggoresan lalu dikocok-kocok misalnya, itu akan mempercepat laju peluruhan atau migrasi dari senyawa BPA ini ke produk yang tersimpan di dalam kemasan tersebut,” bebernya.
Dia juga mengingatkan bahaya yang ditumbulkan jika terpapar BPA pada anak-anak. Zat tersebut akan mengganggu sistem saraf kemudian mengubah perilakunya. Bagi ibu hamil, bisa terjadi miscarriage atau keguguran. Oleh karenanya, di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA.
Mengingat bahayanya penggunaan kemasan plastik mengandung BPA, Andri mendukung jika Indonesia menerapkan regulasi pelarangan penggunaan kemasan plastik mengandung zat berbahaya tersebut. “Saya rasa iya, walaupun ini menjadi rumit ya. Karena bagi produsen kalau tidak menggunakan kemasan yang mengandung BPA, mungkin harus mencari alternatif yang lebih mahal. Mungkin secara bisnis akan susah,” ujarnya.
Andi berpendapat, demi generasi mendatang, mau tidak mau pemerintah harus memiliki kebijakan melindungi generasi penerus, terutama anak-anak, bayi dan juga balita. “Apalagi di era pandemi seperti ini, kita tidak boleh makan di tempat, sehingga harus membawa kemasan serba plastik. Itu menjadi tantangan kita semua dan juga pemerintah tentunya. Tapi, saya tetap berharap, sebaiknya harus ada regulasi soal ini,” ucapnya.
Andri mendukung apabila BPOM sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap keselamatan konsumen mampu melakukan pembatasan. "Saya sangat mendukung BPOM karena lembaga ini bertanggung jawab terhadap keselamatan konsumen terkait penggunaan bahan terutama bahan kimia dan bahan obat. Apalagi zat BPA ini sangat memengaruhi terhadap kesehatan balita termasuk pada ibu-ibu hamil terutama pada janin. Bisa terjadi keguguran jika terpapar dalam jumlah besar dan rutin. Jadi saya rasa ini sudah semestinya BPOM mengusulkan regulasi yang lebih jelas bahwa produk-produk yang menggunakan kemasan sebaiknya yang bebas zat Bisphenol A," katanya.
Hal ini diungkapkan Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip), Andi Cahyo Kumoro. Menurut dia, jika kemasan plastik yang mengandung BPA mengalami pemanasan dan goresan maka migrasi zat BPA akan lebih cepat. “Dibandingkan jika tidak ada guncangan atau tidak ada perlakuan thermal begitu,” ujarnya, Sabtu (2/10/2021).
Salah satu kemasan plastik yang mempunyai potensi besar terjadi migrasi BPA adalah galon isi ulang dengan kode 7 karena berbahan dasar polycarbonat. Kemasan ini wajib menjadi perhatian serius. Sebab dalam proses distribusinya, kerap terpapar panas matahari, belum lagi saat pencucian kerap disikat dan disemprot dengan air panas juga. Kondisi ini memenuhi syarat proses cepatnya migrasi BPA. Selain itu penggunaannya di masyarakat juga sangat besar.
Baca Juga
Selain goresan dan panas, kata Andri, cara lain zat BPA bermigrasi ke dalam makanan dan minuman juga bisa karena minyak. "Jangan sampai ada goresan, juga jangan menyimpan kemasan plastik terlalu lama. Saat plastik mulai rapuh maka mempermudah migrasi BPA. Artinya kalau produknya mengandung minyak atau mungkin kemasannya sudah lama, ditambah ada pemanasan, penggoresan lalu dikocok-kocok misalnya, itu akan mempercepat laju peluruhan atau migrasi dari senyawa BPA ini ke produk yang tersimpan di dalam kemasan tersebut,” bebernya.
Dia juga mengingatkan bahaya yang ditumbulkan jika terpapar BPA pada anak-anak. Zat tersebut akan mengganggu sistem saraf kemudian mengubah perilakunya. Bagi ibu hamil, bisa terjadi miscarriage atau keguguran. Oleh karenanya, di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA.
Mengingat bahayanya penggunaan kemasan plastik mengandung BPA, Andri mendukung jika Indonesia menerapkan regulasi pelarangan penggunaan kemasan plastik mengandung zat berbahaya tersebut. “Saya rasa iya, walaupun ini menjadi rumit ya. Karena bagi produsen kalau tidak menggunakan kemasan yang mengandung BPA, mungkin harus mencari alternatif yang lebih mahal. Mungkin secara bisnis akan susah,” ujarnya.
Andi berpendapat, demi generasi mendatang, mau tidak mau pemerintah harus memiliki kebijakan melindungi generasi penerus, terutama anak-anak, bayi dan juga balita. “Apalagi di era pandemi seperti ini, kita tidak boleh makan di tempat, sehingga harus membawa kemasan serba plastik. Itu menjadi tantangan kita semua dan juga pemerintah tentunya. Tapi, saya tetap berharap, sebaiknya harus ada regulasi soal ini,” ucapnya.
Andri mendukung apabila BPOM sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap keselamatan konsumen mampu melakukan pembatasan. "Saya sangat mendukung BPOM karena lembaga ini bertanggung jawab terhadap keselamatan konsumen terkait penggunaan bahan terutama bahan kimia dan bahan obat. Apalagi zat BPA ini sangat memengaruhi terhadap kesehatan balita termasuk pada ibu-ibu hamil terutama pada janin. Bisa terjadi keguguran jika terpapar dalam jumlah besar dan rutin. Jadi saya rasa ini sudah semestinya BPOM mengusulkan regulasi yang lebih jelas bahwa produk-produk yang menggunakan kemasan sebaiknya yang bebas zat Bisphenol A," katanya.
(cip)
tulis komentar anda