Pemerintah Larang Mudik, Pengamat: Yang Repot Penegakan Hukumnya
Selasa, 21 April 2020 - 17:30 WIB
JAKARTA - Pemerintah melarang masyarakat untuk mudik pada Lebaran nanti. Ini langkah terlambat dan diprediksi realisasinya akan sulit untuk membendung pergerakan orang dalam jumlah besar.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, pelarangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu masih bersifat lisan. Toh, pemerintah sudah berkali-kali mengimbau agar tidak pulang. Kenyataannya, masyarakat tetap berbondong-bondong pulang.
"Namanya perintah lisan, instruksi, arahan, imbauan, itu semua bukan norma hukum. Dia enggak mengikat dan enggak ada sanksi. Kita tunggu regulasinya. Cuma satu itu sudah terlambat," ucapnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (21/4/2020).
Pemerintah patut waswas dengan pergerakan masyarakat apalagi mudik di tengah pandemi Covid-19. Celakanya, arus kepulangan ke daerah itu kebanyakan dari zona merah, yakni Jabodetabek. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), ada sekitar 900.000 orang yang sudah mudik terlebih dahulu.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub , ada sekitar 57 persen yang memutuskan tidak mudik di tengah pandemi Covid-19. Angka ini diperoleh dari survei terhadap 42.890 responden. Namun, ada 37 persen yang belum mudik.
Jika bedah lebih dalam lagi, dari yang belum mudik, 66 persen tidak akan mudik dan 34 tetap pulang kampung. Moda transportasi mudik yang banyak digunakan pun angkutan umum seperti pesawat, bus, kereta api, dan kapal laut. Porsinya mencapai 43,5 persen. (
).
Pelarangan mudik ini, menurut Trubus, akan kesulitan dalam teknis pelaksanaan di lapangan. Alasannya, bagaimana cara penghentian pemudik di jalan raya dan tol. Selain itu, operasional pelabuhan dan bandara harus berhenti.
Dia memprediksi pelarangan ini tidak akan efektif meskipun ada regulasinya. "Yang repot penegakan hukumnya. Nangis itu penegakan hukumnya. Karena apa? Mau disanksi apanya? Denda atau pidana. Enggak bisa," tuturnya.
Kebijakan baru ini juga harus diikuti dengan perluasan jaring pengaman sosial. Dengan tidak adanya mudik, yang terdampak semakin luas, seperti pedagang-pedagang di sepanjang jalur mudik, pengelola dan pekerja kawasan rekreasi di daerah, serta para pekerja di bandara dan pelabuhan. ( ).
Mudik adalah tradisi tahunan di negeri ini. Saat masanya tiba, perputaran uang dari kota berpindah ke desa. Namun, tahun ini masyarakat harus menahan diri demi menghentikan penularan virus Sars Cov-II. "Harus diperluas ini, yang menjadi korban tidak mudik ini banyak," pungkasnya.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan, pelarangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu masih bersifat lisan. Toh, pemerintah sudah berkali-kali mengimbau agar tidak pulang. Kenyataannya, masyarakat tetap berbondong-bondong pulang.
"Namanya perintah lisan, instruksi, arahan, imbauan, itu semua bukan norma hukum. Dia enggak mengikat dan enggak ada sanksi. Kita tunggu regulasinya. Cuma satu itu sudah terlambat," ucapnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (21/4/2020).
Pemerintah patut waswas dengan pergerakan masyarakat apalagi mudik di tengah pandemi Covid-19. Celakanya, arus kepulangan ke daerah itu kebanyakan dari zona merah, yakni Jabodetabek. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), ada sekitar 900.000 orang yang sudah mudik terlebih dahulu.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub , ada sekitar 57 persen yang memutuskan tidak mudik di tengah pandemi Covid-19. Angka ini diperoleh dari survei terhadap 42.890 responden. Namun, ada 37 persen yang belum mudik.
Jika bedah lebih dalam lagi, dari yang belum mudik, 66 persen tidak akan mudik dan 34 tetap pulang kampung. Moda transportasi mudik yang banyak digunakan pun angkutan umum seperti pesawat, bus, kereta api, dan kapal laut. Porsinya mencapai 43,5 persen. (
Baca Juga
Pelarangan mudik ini, menurut Trubus, akan kesulitan dalam teknis pelaksanaan di lapangan. Alasannya, bagaimana cara penghentian pemudik di jalan raya dan tol. Selain itu, operasional pelabuhan dan bandara harus berhenti.
Dia memprediksi pelarangan ini tidak akan efektif meskipun ada regulasinya. "Yang repot penegakan hukumnya. Nangis itu penegakan hukumnya. Karena apa? Mau disanksi apanya? Denda atau pidana. Enggak bisa," tuturnya.
Kebijakan baru ini juga harus diikuti dengan perluasan jaring pengaman sosial. Dengan tidak adanya mudik, yang terdampak semakin luas, seperti pedagang-pedagang di sepanjang jalur mudik, pengelola dan pekerja kawasan rekreasi di daerah, serta para pekerja di bandara dan pelabuhan. ( ).
Mudik adalah tradisi tahunan di negeri ini. Saat masanya tiba, perputaran uang dari kota berpindah ke desa. Namun, tahun ini masyarakat harus menahan diri demi menghentikan penularan virus Sars Cov-II. "Harus diperluas ini, yang menjadi korban tidak mudik ini banyak," pungkasnya.
(zik)
tulis komentar anda