Ini 4 Poin Penting dalam RUU Perjanjian Timbal Balik Hukum Pidana RI-Rusia
Rabu, 01 September 2021 - 16:58 WIB
JAKARTA - Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik RI dan Federasi Rusia dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters.
Di dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Yasonna menyampaikan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal RUU tersebut. “Pelaksanaan kerja sama bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana selama ini telah dilaksanakan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas dan konvensi PBB,” kata Yasonna, Rabu (1/9/2021).
“Seperti United Nation Conventions Against Corruption (UNCAC), United Nation Against Transnational Organized Crime (UNTOC) yang dalam hal ini RI dan pihak Federasi Rusia, khususnya penerapan hukum acara untuk memastian pemenuhan permintaan bantuan hukum yang dimaksud menjadi admissible dalam proses peradilan,” sambungnya.
Menurut politikus PDIP ini, perbedaan sistem hukum seringkali menjadi faktor yang memperlama proses permintaan bantuan karena diperlukan pembahasan dan kesepahaman untuk menjembatani bantuan yang dimaksud. Untuk itu, perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara RI dan Federasi Rusia yang sudah ditandatangani 14 Desember 2019 di Moskow, Rusia akan semakin memperkuat kerja sama yang ada dan diharapkan dapat mengatasi perbedaan sistem hukum kedua negara.
Setelah ditandatangani, sambung dia, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Federasi Rusia harus melakukan prosedur internal untuk keberlakuan perjanjian tersebut, baik kedua belah pihak sebagaimana tertuang dalam perjanjian antara RI dan Federasi Rusia tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. “Setelah menyelesaikan prosedur internal, kedua belah pihak wajib memberikan informasi tentang keberlakuan perjanjian tersebut melalui saluran diplomatik,” ujar Yasonna.
Bagi Indonesia, kata Yasonna, tindak lanjut penandatanganan perjanjian mengacu pada Pasal 10 UU 4/2000 yang menentukan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan UU, antara lain yang berkaitan dengan substansi kedaulatan, keamanan negara dan HAM. Adapun RUU ini mengatur di antaranya, kewajiban memberikan bantuan hukum; lingkup penerapan perjanjian; otoritas pusat dan otoritas berwenang; pelaksanaan permintaan bantuan hukum, biaya, konsultasi dan sengketa serta ketentuan akhir.
Untuk itu, Yasonna menambahkan, pemerintah sangat berharap bahwa DPR bersama pemerintah bisa segera menyetujui RUU ini menjadi UU. “Besar harapan kami agar RUU ini dapat diselesaikan dan mendapatkan persetujuan bersama DPR RI sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Atas perhatian dan kerja sama pimpinan dan anggota Komisi III yang terhormat, kami mengucapkan terima kasih. Atas nama Presiden RI, Menkumham RI Yasonna Laoly ditandatangani,” tutup Yasonna.
Kemudian, Yasonna menyampaikan draf RUU tersebut kepada pimpinan Komisi III DPR. Dan dilanjutkan dengan penyampaian pandangan awal 9 fraksi di Komisi III DPR terhadap RUU ini.
Di dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Yasonna menyampaikan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal RUU tersebut. “Pelaksanaan kerja sama bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana selama ini telah dilaksanakan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas dan konvensi PBB,” kata Yasonna, Rabu (1/9/2021).
“Seperti United Nation Conventions Against Corruption (UNCAC), United Nation Against Transnational Organized Crime (UNTOC) yang dalam hal ini RI dan pihak Federasi Rusia, khususnya penerapan hukum acara untuk memastian pemenuhan permintaan bantuan hukum yang dimaksud menjadi admissible dalam proses peradilan,” sambungnya.
Baca Juga
Menurut politikus PDIP ini, perbedaan sistem hukum seringkali menjadi faktor yang memperlama proses permintaan bantuan karena diperlukan pembahasan dan kesepahaman untuk menjembatani bantuan yang dimaksud. Untuk itu, perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara RI dan Federasi Rusia yang sudah ditandatangani 14 Desember 2019 di Moskow, Rusia akan semakin memperkuat kerja sama yang ada dan diharapkan dapat mengatasi perbedaan sistem hukum kedua negara.
Setelah ditandatangani, sambung dia, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Federasi Rusia harus melakukan prosedur internal untuk keberlakuan perjanjian tersebut, baik kedua belah pihak sebagaimana tertuang dalam perjanjian antara RI dan Federasi Rusia tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. “Setelah menyelesaikan prosedur internal, kedua belah pihak wajib memberikan informasi tentang keberlakuan perjanjian tersebut melalui saluran diplomatik,” ujar Yasonna.
Baca Juga
Bagi Indonesia, kata Yasonna, tindak lanjut penandatanganan perjanjian mengacu pada Pasal 10 UU 4/2000 yang menentukan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan UU, antara lain yang berkaitan dengan substansi kedaulatan, keamanan negara dan HAM. Adapun RUU ini mengatur di antaranya, kewajiban memberikan bantuan hukum; lingkup penerapan perjanjian; otoritas pusat dan otoritas berwenang; pelaksanaan permintaan bantuan hukum, biaya, konsultasi dan sengketa serta ketentuan akhir.
Untuk itu, Yasonna menambahkan, pemerintah sangat berharap bahwa DPR bersama pemerintah bisa segera menyetujui RUU ini menjadi UU. “Besar harapan kami agar RUU ini dapat diselesaikan dan mendapatkan persetujuan bersama DPR RI sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Atas perhatian dan kerja sama pimpinan dan anggota Komisi III yang terhormat, kami mengucapkan terima kasih. Atas nama Presiden RI, Menkumham RI Yasonna Laoly ditandatangani,” tutup Yasonna.
Kemudian, Yasonna menyampaikan draf RUU tersebut kepada pimpinan Komisi III DPR. Dan dilanjutkan dengan penyampaian pandangan awal 9 fraksi di Komisi III DPR terhadap RUU ini.
(cip)
tulis komentar anda