Angka Kematian Akibat Covid-19 Tembus 100 Ribu, IDI: 598 di Antaranya Dokter
Jum'at, 06 Agustus 2021 - 10:34 WIB
JAKARTA - Angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia terus bertambah dan telah menembus 100 ribu. Dari jumlah tersebut, IDI mencatat 598 orang di antaranya para dokter.
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban pun menyoroti angka kematian akibat Covid-19 yang terus meningkat. "Sangat benar. Kekhawatiran utama publik adalah fakta bahwa jumlah kematian Covid-19 di Indonesia sudah melebihi 100 ribu jiwa. Termasuk di antaranya adalah 598 dokter. Dan, bisa saja angka sebenarnya itu jauh lebih tinggi. Apa yang membuat angka kematian begitu meroket ya?" kata Zubairi lewat akun media sosial pribadinya, Jumat (6/8/2021).
Zubairi mengatakan bahwa kondisi Covid-19 dalam dua bulan terakhir bisa menjawab pertanyaan tersebut. "Kondisi kita dua bulan terakhir sebenarnya bisa menjawab pertanyaan itu. Ada antrean panjang pasien Covid-19 untuk mendapatkan tempat tidur di rumah sakit. Kurangnya pasokan oksigen, isoman yang kurang tertangani, ya alhasil 30 ribu-an orang meninggal hanya pada bulan Juli saja."
Faktanya, kata Zubairi, rumah sakit memang mengalami kekurangan oksigen dan terisi jauh melebihi kapasitas jumlah pasiennya. Sehingga makin sulit untuk merawat dengan intens, bahkan ada yang terpaksa menolak pasien karena penuh. Pada sisi lain, tenaga medis dan kesehatan juga kewalahan.
Laporan dari lapangan, ungkap Zubairi, puskesmas dan pasien itu memang kesulitan menghubungi hotline rumah sakit. "Mereka coba menghubungi namun tidak ada yang angkat. Akibatnya, ambulans dari puskesmas tidak bisa jalan ke rumah sakit. Pasien pun tidak tertangani dan akhirnya meninggal," paparnya.
Jadi, Zubairi memohon agar hotline di rumah sakit itu dibuka dan direspons. "Karena ambulans dari puskesmas baru bisa berangkat kalau rumah sakit yang dituju memberi jaminan. Namanya hotline ya harus merespons, apa pun kondisinya. Paling tidak memberi informasi faktual saat itu," kata Zubairi.
Kemudian, Zubairi, ada juga yang patut jadi sorotan yaitu keberadaan laboratorium yang menjadi tempat tes antigen dan PCR yang jumlahnya banyak sekali. Harusnya mereka punya kewajiban untuk memberikan konsultasi dan merujuk pasien ke puskesmas atau rumah.
"Bukan cuma setelah hasil tes diberikan, disudahi begitu saja. Modelnya bisa mirip-mirip dengan tes HIV dulu. Yakni bersamaan hasil tes keluar dari lab, ya sudah sepaket dengan konsultasi dan memberi jalan kepada pasien untuk melakukan apa. Ini harus jadi konsern," tambah Zubairi.
Zubairi juga menyoroti pasien Covid-19 isoman yang meninggal. "Belum lagi soal isoman. Ini juga menjadi isu. Banyak sekali orang yang melakukan isoman tapi tidak punya pengetahuan cukup--dan sebenarnya memerlukan konsultasi dengan dokter. Alhamdulillah, di beberapa daerah, mereka sudah melakukan telemedicine untuk pasien isoman."
Menurutnya, hal itu bagus sekali. "Saya salut kepada teman-teman dokter yang sudah melaksanakannya. Semoga, daerah yang sudah melakukan telemedicine dan berhasil, bisa menjadi prototipe daerah lain untuk melakukannya juga."
Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban pun menyoroti angka kematian akibat Covid-19 yang terus meningkat. "Sangat benar. Kekhawatiran utama publik adalah fakta bahwa jumlah kematian Covid-19 di Indonesia sudah melebihi 100 ribu jiwa. Termasuk di antaranya adalah 598 dokter. Dan, bisa saja angka sebenarnya itu jauh lebih tinggi. Apa yang membuat angka kematian begitu meroket ya?" kata Zubairi lewat akun media sosial pribadinya, Jumat (6/8/2021).
Zubairi mengatakan bahwa kondisi Covid-19 dalam dua bulan terakhir bisa menjawab pertanyaan tersebut. "Kondisi kita dua bulan terakhir sebenarnya bisa menjawab pertanyaan itu. Ada antrean panjang pasien Covid-19 untuk mendapatkan tempat tidur di rumah sakit. Kurangnya pasokan oksigen, isoman yang kurang tertangani, ya alhasil 30 ribu-an orang meninggal hanya pada bulan Juli saja."
Faktanya, kata Zubairi, rumah sakit memang mengalami kekurangan oksigen dan terisi jauh melebihi kapasitas jumlah pasiennya. Sehingga makin sulit untuk merawat dengan intens, bahkan ada yang terpaksa menolak pasien karena penuh. Pada sisi lain, tenaga medis dan kesehatan juga kewalahan.
Laporan dari lapangan, ungkap Zubairi, puskesmas dan pasien itu memang kesulitan menghubungi hotline rumah sakit. "Mereka coba menghubungi namun tidak ada yang angkat. Akibatnya, ambulans dari puskesmas tidak bisa jalan ke rumah sakit. Pasien pun tidak tertangani dan akhirnya meninggal," paparnya.
Jadi, Zubairi memohon agar hotline di rumah sakit itu dibuka dan direspons. "Karena ambulans dari puskesmas baru bisa berangkat kalau rumah sakit yang dituju memberi jaminan. Namanya hotline ya harus merespons, apa pun kondisinya. Paling tidak memberi informasi faktual saat itu," kata Zubairi.
Kemudian, Zubairi, ada juga yang patut jadi sorotan yaitu keberadaan laboratorium yang menjadi tempat tes antigen dan PCR yang jumlahnya banyak sekali. Harusnya mereka punya kewajiban untuk memberikan konsultasi dan merujuk pasien ke puskesmas atau rumah.
"Bukan cuma setelah hasil tes diberikan, disudahi begitu saja. Modelnya bisa mirip-mirip dengan tes HIV dulu. Yakni bersamaan hasil tes keluar dari lab, ya sudah sepaket dengan konsultasi dan memberi jalan kepada pasien untuk melakukan apa. Ini harus jadi konsern," tambah Zubairi.
Zubairi juga menyoroti pasien Covid-19 isoman yang meninggal. "Belum lagi soal isoman. Ini juga menjadi isu. Banyak sekali orang yang melakukan isoman tapi tidak punya pengetahuan cukup--dan sebenarnya memerlukan konsultasi dengan dokter. Alhamdulillah, di beberapa daerah, mereka sudah melakukan telemedicine untuk pasien isoman."
Menurutnya, hal itu bagus sekali. "Saya salut kepada teman-teman dokter yang sudah melaksanakannya. Semoga, daerah yang sudah melakukan telemedicine dan berhasil, bisa menjadi prototipe daerah lain untuk melakukannya juga."
(zik)
tulis komentar anda