Pentingnya Kepemimpinan dalam Tata Kelola Kolaboratif
Rabu, 04 Agustus 2021 - 19:37 WIB
JAKARTA - Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional yang dialami oleh semua negara di dunia. Pemerintah pusat maupun daerah telah menyelenggarakan banyak program penanggulangan kemiskinan, namun demikian banyaknya program tidak serta merta mengurangi angka kemiskinan yang ada.
Pola penanganan kemiskinan ini tidak dapat lagi diserahkan kepada pemerintah semata melainkan membutuhkan upaya Collaborative Governance yang melibatkan para pemangku kepentingan.
Hal tersebut disampaikan Muh Azis Muslim, Mahasiswa Pascasarjana dan Dosen FIA UI dalam Sidang Promosi Doktor yang diselenggarakan secara virtual pada hari Selasa (3/8/2021).
Pada kesempatan ini, Muh Azis Muslim menyampaikan Disertasi yang berjudul “Kepemimpinan Bupati dalam Collaborative Governance untuk Penanggulangan Kemiskinan di Daerah (Studi atas Praktik-Praktik Terbaik di Kulon Progo dan Banyuwangi)”.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, hampir semua model kerangka kerja Collaborative Governance, kepemimpinan selalu memiliki peran yang utama dan strategis, namun kajian spesifik terkait hal tersebut cenderung terbatas.
Oleh karena itu, Muh Azis Muslim melakukan kajian terkait kepemimpinan Bupati Kulon Progo dan Banyuwangi yang dipandang dapat menjadi contoh keberhasilan dalam tata kelola kolaboratif.
“Praktik tata kelola kolaborasi yang berlangsung di Kulon Progo diinisiasi melalui inovasi program dan kolaborasi eksternal multi stakeholders sedangkan di Banyuwangi diawali dengan keberhasilan kolaborasi internal dan inovasi program. Keluaran jangka panjang praktik tata kelola kolaboratif terwujud dalam bentuk pengurangan jumlah penduduk miskin, peningkatan indeks pembangunan manusia dan produk domestik brutonya,” ujarnya.
Ansell dan Gash hanya menempatkan kepemimpinan fasilitatif berelasi dengan dimensi proses kolaborasi dari kerangka model yang dikembangkannya. Peneliti menemukan bahwa sosok pemimpin memiliki peran yang sangat penting pada dimensi kondisi awal (starting condition).
Temuan baru dalam penelitian ini menempatkan unsur latar belakang pemimpin (leader’s individual background) bersama dengan asimetri kekuasaan dan sejarah kerja sama/konflik sebagai dasar yang dapat menghambat atau mendukung proses kolaborasi yang terbangun.
Pola penanganan kemiskinan ini tidak dapat lagi diserahkan kepada pemerintah semata melainkan membutuhkan upaya Collaborative Governance yang melibatkan para pemangku kepentingan.
Hal tersebut disampaikan Muh Azis Muslim, Mahasiswa Pascasarjana dan Dosen FIA UI dalam Sidang Promosi Doktor yang diselenggarakan secara virtual pada hari Selasa (3/8/2021).
Pada kesempatan ini, Muh Azis Muslim menyampaikan Disertasi yang berjudul “Kepemimpinan Bupati dalam Collaborative Governance untuk Penanggulangan Kemiskinan di Daerah (Studi atas Praktik-Praktik Terbaik di Kulon Progo dan Banyuwangi)”.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, hampir semua model kerangka kerja Collaborative Governance, kepemimpinan selalu memiliki peran yang utama dan strategis, namun kajian spesifik terkait hal tersebut cenderung terbatas.
Oleh karena itu, Muh Azis Muslim melakukan kajian terkait kepemimpinan Bupati Kulon Progo dan Banyuwangi yang dipandang dapat menjadi contoh keberhasilan dalam tata kelola kolaboratif.
“Praktik tata kelola kolaborasi yang berlangsung di Kulon Progo diinisiasi melalui inovasi program dan kolaborasi eksternal multi stakeholders sedangkan di Banyuwangi diawali dengan keberhasilan kolaborasi internal dan inovasi program. Keluaran jangka panjang praktik tata kelola kolaboratif terwujud dalam bentuk pengurangan jumlah penduduk miskin, peningkatan indeks pembangunan manusia dan produk domestik brutonya,” ujarnya.
Ansell dan Gash hanya menempatkan kepemimpinan fasilitatif berelasi dengan dimensi proses kolaborasi dari kerangka model yang dikembangkannya. Peneliti menemukan bahwa sosok pemimpin memiliki peran yang sangat penting pada dimensi kondisi awal (starting condition).
Temuan baru dalam penelitian ini menempatkan unsur latar belakang pemimpin (leader’s individual background) bersama dengan asimetri kekuasaan dan sejarah kerja sama/konflik sebagai dasar yang dapat menghambat atau mendukung proses kolaborasi yang terbangun.
tulis komentar anda