Putusan Verifikasi Parpol Diduga Transaksional, Masyarakat Diorong Lapor Dewan Etik
Minggu, 30 Mei 2021 - 16:41 WIB
JAKARTA - Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (PUSaKO Unand) Feri Amsari mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan-keputusan unik yang salah satunya adalah putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi bertajuk “Cacat Nalar Putusan MK Soal Verifikasi Parpol,” pada Minggu (30/5/2021). Diskusi tersebut dielenggarakan JIB Post melalui Zoom sekaligus dapat disaksikan lewat kanal YouTube JIB Post.
Terkait putusan MK yang mengatur tentang verifikasi partai politik, dia menyebutkan, MK maksimal kesalahannya karena mencari-cari logika hukum yang didasarkan atas keinginannya, bukan pada keadilan. “Mencari logika hukum terhadap keinginannya, bukan mencari keadilan terhadap apa yang diajukan kepadanya. Aneh saja, Partai Garuda yang mengajukan judicial review agar semua parpol lama tidak di verifikasi, tapi MK malah memutuskan yang tidak ada hubungannya dengan permintaan uji materi," kata Amsari.
Selain itu, soal dugaan publik tentang adanya transaksional terkait putusan dengan perpanjangan usia hakim. Feri Amsari mendorong lembaga-lembaga pemilu dan masyarakat untuk melaporkannya ke Dewan Etik MK terkait kejanggalan tersebut.
Di sisi lain, menurutnya, putusan No 55/PUU-XVIII/2020 ini juga tidak memuat argumen yang membantah putusan-putusan sebelumnya. Putusan itu mengatur tentang partai politik yang sudah lolos parliamentary threshold (PT) tidak perlu melakukan verifikasi faktual, tetapi cukup verifikasi adminstratif saja. “Aneh kalau kemudian selesainya di perkara administrasi saja tidak sampai kepada upaya membuktikan kebenaran administrasi itu. Jadi, bagi saya aneh saja kalau mahkamah kemudian memfokuskan secara istimewa kepada sembilan partai parlemen dan itu juga tanpa alasan yang detail, ya kecuali soal perolehan suara itu,” ungkapnya.
Diketahui, bahwa putusan MK sebelumnya mengatur tentang perlunya partai politik, baik itu yang lolos ambang batas parlemen ataupun yang belum lolos untuk tetap melakukan verifikasi faktual dan verifikasi administratif. Feri Amsari kemudian mengutip ungkapan dari Marco Kartodikromo dan Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan, “Didik rakyat dengan pergerakan dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
“Jadi, inilah perlawanan akademik untuk mempertanyakan keputusan-keputusan MK terkait kepemiluan. Di mana kesan yang dibaca hari ini, MK membuka jalan lebar kepada partai-partai yang dominan di parlemen. MK tidak bicara keadilan pemilu secara prinsip, tetapi bicara keuntungan partai-partai yang ada di parlemen,” bebernya.
Dari titik itu, Amsari mencemaskan Pemilu 2024 mendatang. Mungkin tidak seriuh para pendukung di 2014-2019, tapi bukan tidak mungkin Pemilu 2024 jauh lebih rusak dibandingkan pemilu sebelum-sebelumnya dalam konteks proses penyelnggaraan dan prinsip keadilan pemilu. "Oleh karena itu, saya pikir JIB dan teman-teman seperti Perludem sudah di arah yang benar untuk kemudian mengontrol proses penyelenggaraan pemilu itu dari saat ini melalui berbagai media. Mudah-mudahan hakim konstitusi dapat hidayah, ya untuk kembali ke khitah sebagai—betul-betul—pengawal konstitusi, bukan pengawal parlemen dengan sembilan naganya (partai),” pungkasnya.
Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi bertajuk “Cacat Nalar Putusan MK Soal Verifikasi Parpol,” pada Minggu (30/5/2021). Diskusi tersebut dielenggarakan JIB Post melalui Zoom sekaligus dapat disaksikan lewat kanal YouTube JIB Post.
Terkait putusan MK yang mengatur tentang verifikasi partai politik, dia menyebutkan, MK maksimal kesalahannya karena mencari-cari logika hukum yang didasarkan atas keinginannya, bukan pada keadilan. “Mencari logika hukum terhadap keinginannya, bukan mencari keadilan terhadap apa yang diajukan kepadanya. Aneh saja, Partai Garuda yang mengajukan judicial review agar semua parpol lama tidak di verifikasi, tapi MK malah memutuskan yang tidak ada hubungannya dengan permintaan uji materi," kata Amsari.
Selain itu, soal dugaan publik tentang adanya transaksional terkait putusan dengan perpanjangan usia hakim. Feri Amsari mendorong lembaga-lembaga pemilu dan masyarakat untuk melaporkannya ke Dewan Etik MK terkait kejanggalan tersebut.
Baca Juga
Di sisi lain, menurutnya, putusan No 55/PUU-XVIII/2020 ini juga tidak memuat argumen yang membantah putusan-putusan sebelumnya. Putusan itu mengatur tentang partai politik yang sudah lolos parliamentary threshold (PT) tidak perlu melakukan verifikasi faktual, tetapi cukup verifikasi adminstratif saja. “Aneh kalau kemudian selesainya di perkara administrasi saja tidak sampai kepada upaya membuktikan kebenaran administrasi itu. Jadi, bagi saya aneh saja kalau mahkamah kemudian memfokuskan secara istimewa kepada sembilan partai parlemen dan itu juga tanpa alasan yang detail, ya kecuali soal perolehan suara itu,” ungkapnya.
Diketahui, bahwa putusan MK sebelumnya mengatur tentang perlunya partai politik, baik itu yang lolos ambang batas parlemen ataupun yang belum lolos untuk tetap melakukan verifikasi faktual dan verifikasi administratif. Feri Amsari kemudian mengutip ungkapan dari Marco Kartodikromo dan Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan, “Didik rakyat dengan pergerakan dan didiklah penguasa dengan perlawanan”.
“Jadi, inilah perlawanan akademik untuk mempertanyakan keputusan-keputusan MK terkait kepemiluan. Di mana kesan yang dibaca hari ini, MK membuka jalan lebar kepada partai-partai yang dominan di parlemen. MK tidak bicara keadilan pemilu secara prinsip, tetapi bicara keuntungan partai-partai yang ada di parlemen,” bebernya.
Dari titik itu, Amsari mencemaskan Pemilu 2024 mendatang. Mungkin tidak seriuh para pendukung di 2014-2019, tapi bukan tidak mungkin Pemilu 2024 jauh lebih rusak dibandingkan pemilu sebelum-sebelumnya dalam konteks proses penyelnggaraan dan prinsip keadilan pemilu. "Oleh karena itu, saya pikir JIB dan teman-teman seperti Perludem sudah di arah yang benar untuk kemudian mengontrol proses penyelenggaraan pemilu itu dari saat ini melalui berbagai media. Mudah-mudahan hakim konstitusi dapat hidayah, ya untuk kembali ke khitah sebagai—betul-betul—pengawal konstitusi, bukan pengawal parlemen dengan sembilan naganya (partai),” pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda