Petinggi PKS-Demokrat Bertemu, Pengamat: Tidak Punya Pilihan...
Jum'at, 23 April 2021 - 11:25 WIB
JAKARTA - Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah melakukan pertemuan. Pertemuan itu digelar di Kantor DPP Partai Demokrat, Kamis (22/4/2021).
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai PKS dengan Partai Demokrat memiliki benang merah. Kedua partai politik itu sama-sama berada di luar pemerintahan saat ini.
"Saya melihat bahwa makin ke sini memang Partai Demokrat sepertinya tidak punya pilihan untuk katakanlah masuk ke dalam pemerintahan, baik karena hubungan SBY dan Bu Mega yang mungkin sampai sekarang tidak kunjung pulih," ujar Qodari, Jumat (23/4/2021).
Kemudian, lanjut Qodari, hubungan SBY dan Presiden Jokowi yang seringkali konfliktual. "Karena barangkali Pak SBY merasa bahwa kebijakan yang diambil Pak Jokowi itu tidak tepat atau tidak melanjutkan apa yang dulu dikerjakan SBY, maupun dinamika-dinamika yang lebih belakangan, jadi ya termasuk pilpres 2019," tuturnya.
Maka itu, dia menilai kelihatannya sulit mengatakan Partai Demokrat akan menjadi bagian dari koalisi pendukung Pemerintahan Jokowi. "Benang merah ini ketemu dengan PKS, kalau PKS saya lihat memang tidak mau bergabung karena pilihan ideologis dan strategi elektoral," katanya.
Qodari menjelaskan bahwa ideologi politik di Indonesia ini ada Islam dan nasionalis. "Islam Tradisionalis ada modernis. Kemudian nasionalis itu ada nasionalis pasar bebas dan ada nasionalis proteksionis atau populis, jadi Islam modernis ini di kanan, paling kanan, kanan luar, nasionalis proteksionis kiri luar atau paling kiri," katanya.
Dia mengatakan jarak psikologis antara kedua ideologi politik itu sangat jauh. Karena itu, dia menambahkan, pasti dalam pengambilan kebijakan atau penyusunan sebuah Undang-undang itu cenderung akan bertentangan.
"Karena bertentangan tentu sulit untuk bergabung, di sisi yang lain memang konstituennya sangat berbeda, amat sangat berbeda. Jadi, ya PKS sendiri merasa lebih aman, lebih mudah, dia mengamankan segmen konstituennya ketimbang bergabung dengan pak Jokowi yang notabenenya akan membuat konstituennya itu berontak," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, PKS merasa konstituennya berada di ujung sebelah kanan. "Jadi, konsentrasi saja di sebelah kanan, tidak masuk ke dalam pemerintahan, karena toh nanti tidak mendapatkan insentif elektoral, juga malah akan mengalami disinsentif karena pemilihnya akan lari," tuturnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menilai PKS dengan Partai Demokrat memiliki benang merah. Kedua partai politik itu sama-sama berada di luar pemerintahan saat ini.
"Saya melihat bahwa makin ke sini memang Partai Demokrat sepertinya tidak punya pilihan untuk katakanlah masuk ke dalam pemerintahan, baik karena hubungan SBY dan Bu Mega yang mungkin sampai sekarang tidak kunjung pulih," ujar Qodari, Jumat (23/4/2021).
Kemudian, lanjut Qodari, hubungan SBY dan Presiden Jokowi yang seringkali konfliktual. "Karena barangkali Pak SBY merasa bahwa kebijakan yang diambil Pak Jokowi itu tidak tepat atau tidak melanjutkan apa yang dulu dikerjakan SBY, maupun dinamika-dinamika yang lebih belakangan, jadi ya termasuk pilpres 2019," tuturnya.
Maka itu, dia menilai kelihatannya sulit mengatakan Partai Demokrat akan menjadi bagian dari koalisi pendukung Pemerintahan Jokowi. "Benang merah ini ketemu dengan PKS, kalau PKS saya lihat memang tidak mau bergabung karena pilihan ideologis dan strategi elektoral," katanya.
Qodari menjelaskan bahwa ideologi politik di Indonesia ini ada Islam dan nasionalis. "Islam Tradisionalis ada modernis. Kemudian nasionalis itu ada nasionalis pasar bebas dan ada nasionalis proteksionis atau populis, jadi Islam modernis ini di kanan, paling kanan, kanan luar, nasionalis proteksionis kiri luar atau paling kiri," katanya.
Dia mengatakan jarak psikologis antara kedua ideologi politik itu sangat jauh. Karena itu, dia menambahkan, pasti dalam pengambilan kebijakan atau penyusunan sebuah Undang-undang itu cenderung akan bertentangan.
"Karena bertentangan tentu sulit untuk bergabung, di sisi yang lain memang konstituennya sangat berbeda, amat sangat berbeda. Jadi, ya PKS sendiri merasa lebih aman, lebih mudah, dia mengamankan segmen konstituennya ketimbang bergabung dengan pak Jokowi yang notabenenya akan membuat konstituennya itu berontak," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, PKS merasa konstituennya berada di ujung sebelah kanan. "Jadi, konsentrasi saja di sebelah kanan, tidak masuk ke dalam pemerintahan, karena toh nanti tidak mendapatkan insentif elektoral, juga malah akan mengalami disinsentif karena pemilihnya akan lari," tuturnya.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda