PKS Duga Kamus Sejarah Indonesia Jilid 1 dan 2 Sudah Beredar di Olshop

Jum'at, 23 April 2021 - 03:15 WIB
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mengaku pihaknya menyayangkan kamus kontroversial terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berjudul Kamus Sejarah Indonesia Jilid I dan II tetap beredar. Bahkan, ia menduga kamus tersebut diperjual-belikan di toko daring atau online Shop (Olshop).

"Padahal kata mas Menteri (Nadiem) dan Dirjen (Kebudayaan) sudah ditarik, tapi percuma karena sudah beredar di masyarakat, kecuali dilarang," kata Fikri kepada wartawan, Kamis 22 April 2021.

Fikri mengatakan, Kamus sejarah yang menjadi polemik di masyarakat karena tak memasukan nama pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari dan tokoh bangsa lainnya katanya mudah ditemui di toko online, atau semudah mengklik di mesin pencari internet. "Jadi ini seperti mau menghapus kesalahan, tapi dosanya terlanjur menjalar kemana-mana," ucapnya.

Politikus PKS ini menyatakan, setelah sebelumnya Mendikbud dan Dirjen Kebudayaan mengakui adanya kesalahan atas penerbitan buku tersebut, sebaiknya Kemendikbud mulai melakukan pembersihan ‘dosa’.

"Segera larang peredarannya, karena sangat meresahkan, bila tidak dilarang, berarti memang benar demikian isi buku tersebut," tandasnya.



Seperti diketahui, Kamus Sejarah Indonesia terdiri atas dua jilid. Jilid I dengan sub-judul Nation Formation (1900-1950) dan Jilid II :Nation Building (1951-1998).

Namun disayangkan, tokoh penting nasional yang sekaligus pendiri Nahdatul Ulama, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari tidak ada dalam entry khusus (yang disusun secara alfabetis) dalam kamus tersebut.Demikian pula dengan kiprah proklamator RI, Soekarno & M. Hatta, tidak ditemukan dalam entry alfabetis di dalam Kamus Jilid II.

Fikri mengajak semua elemen negeri ini untuk bersama meluruskan sejarah bangsa yang mulai dicemari upaya pembelokan dan penghilangan sejarah, terutama kiprah K.H Hasyim Asyhari.

"Bila tanpa adanya fatwa jihad dari Hadratusy Syaikh Hasyim Asy'ari pada waktu itu, bung Tomo dan puluhan ribu rakyat Surabaya tidak mungkin bertempur gagah berani dengan satu semboyan: merdeka atau mati, karena ulama adalah tokoh paling ditaati saat itu," ulas dia.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More