KH Hasyim Asy'ari Hilang dari Kamus Sejarah, Begini Kritikan Politikus PKS

Selasa, 20 April 2021 - 21:23 WIB
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf. Foto/dpr.go.id
JAKARTA - Nama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari tak ada dalam draf naskah Kamus Sejarah Indonesia. Hal itu pun menjadi polemik dan menuai protes dari banyak kalangan, khususnya warga Nahdiyin.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud ) memberikan klarifikasi bahwa draf naskah softcopy yang disusun sejak 2017 itu adalah buku yang tidak pernah diterbitkan secara resmi oleh Kemendikbud.

Merespons hal itu, anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyesalkan sikap gegabah tim penyusun yang mengabaikan kaidah historiografi Indonesia yang objektif. Legislator Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) ini mengatakan, kiprah ulama maupun tokoh Islam lainnya berhak memperoleh kedudukan yang proporsional dalam narasi sejarah bangsa.





Pasalnya, eksistensi mereka, secara autentik, telah mewariskan sumbangsih signifikan bagi usaha pendirian Republik. "Insiden ini sangat fatal dan harus disikapi serius. Dengan kata lain, upaya melenyapkan profil Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam ingatan generasi tentang sejarah bangsa kita adalah perilaku ahistoris dan kontraproduktif bagi pengembangan wawasan kebangsaan kita. Tidak cukup sampai di situ, minimnya porsi ulama dalam narasi sejarah kita juga mengindikasikan historiografi kita yang diskriminatif dan kolonialistik," ujar Bukhori dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Selasa (20/4/2021).

Menurut Bukhori, menghapus Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam memori intelektual kita adalah pengkhianatan terhadap amanat Bung Karno untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah sekaligus bentuk pengabaian peran umat Islam dalam mendirikan dan mempertahankan republik. Anggota DPR yang pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Jepara ini juga mengkritik penulisan sejarah Indonesia yang tertuang dalam buku formal sekolah.



Menurutnya, penulisan sejarah dalam buku tersebut tidak jarang berwatak Belanda-Sentris atau Eropa-Sentris dan kurang kritis secara metodologi. Sehingga, Bukhori mendorong terobosan baru dalam historiografi Indonesia.

"Fenomena ini akhirnya membuat kita datang pada suatu kesadaran untuk meninjau kembali Historiografi Indonesia yang tertuang dalam buku-buku formal di sekolah dimana sedikit sekali mengungkap peran ulama dan santri dalam perjuangan penegakan kedaulatan hingga mempertahankan NKRI," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, Indonesia sebagai negara yang berdasarkan ketuhanan tidak sepenuhnya kompatibel dengan narasi sejarah yang dibangun dari konstruksi berpikir yang sekuleristik sebagaimana dituliskan oleh para sejarawan barat dan orientalis.

"Kendati begitu, bukan berarti kita antiterhadap narasi sejarah yang dituliskan mereka. Tetapi, cukup dimaknai sebagai pengayaan khazanah. Sementara, historiografi kita harus dibangun dari kajian yang kritis, referensi yang kuat, dan penulisan yang objektif dengan tidak mengesampingkan peran umat Islam sebagai salah satu isu krusialnya," jelasnya.

Dia melanjutkan, narasi sejarah kita akan membentuk kepribadian bangsa kita. "Sebab itu, kita perlu adil sejak dalam pikiran. Termasuk pengakuan kita secara jujur bahwa para ulama dan santri adalah domain penting dalam historiografi Indonesia," pungkasnya.
(zik)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More