Masyarakat harus Terlibat secara Nyata dalam Pemberdayaan
Rabu, 20 Mei 2020 - 11:54 WIB
JAKARTA - Sejumlah kalangan menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai titik krusial. Bagaimana pemberdayaan berangkat dari masyarakat dan digerakkan oleh masyarakat.
Artinya, masyarakat dilibatkan secara nyata sebagai subjek, bukan sebagai pelengkap formalitas semata. Pandangan ini mengemuka dalam pelatihan dasar komunikasi dan community development yang digelar secara webinar oleh Universitas Nasional bekerjasama dengan Karya Cita Konsultindo (KCK), Selasa (19/5/2020).
Di hadapan ratusan peserta, Managing Director KCK Budi R Minulya mengatakan, pelatihan ini merupakan implementasi dari kerjasama KCK dengan Unas dalam mempersempit jarak teoritis dengan fakta lapangan yang dinamis. “Hal ini merupakan komitmen kami dalam memperluas jejaring untuk dapat bergerak bersama. Kami berharap dari kalangan kampus juga dapat menjadi salah satu motor penggerak pemberdayaan masyarakat," kata Budi.
Wakil Rektor Bidang PPMK Unas, Ernawati Sinaga menekankan pentingya merespons perubahan yang ada secara bijaksana. Erna mengakui pihaknya membutuhkan sharing pengalaman di lapangan yang sangat unik dan dinamis.
"Kami menyambut baik dan berharap pascapandemi acara ini dapat di-follow up dengan pelatihan sejenis dengan metode pelatihan yang lebih interaktif dan banyak simulasinya," tuturnya.
Acara yang dipandu Ketua LPPM Unas Nonon Saribanon ini menghadirkan narasumber dari KCK, antara lain Hendra Samsuri, Happy Azmi, Bayu Swastika, dan Safrida. Berbasis pengalaman di lapangan, Hendra Samsuri mengatakan program comdev kerapkali berubah-ubah sesuai dengan benturan kepentingan para pelakunya.
Menurutnya hal ini tidak hanya bias, tetapi juga menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek yang didefinisikan kebutuhannya. Akibatnya, program berjalan secara seremonial. “Banyak progam yang secara event terlibat menarik, dihadiri banyak orang, tetapi setelah itu tidak ada kelanjutannya,” katanya.
Hendra mencontohkan program air pengolahan bersih di Jambi. Ia bilang, seolah-olah memang air bersih yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tetapi setelah dilakukan assessment, ternyata bukan air bersih yang mereka butuhkan. "Hal ini terjadi karena kita melihatnya dari permukaan saja, tidak melibatkan masyarakat secara intens untuk menemukan kebutuhan riil mereka," imbuhnya.
Happy Azmi menekankan pentingnya memahami dan menguasai ketrampilan komunikasi sosial untuk menyampaikan program pemberdayaan. Titik tekannya adalah bagaimana masyarakat merasa dihargai dan dilibatkan. "Ibarat penonton konser, perbandingannya adalah antara sobat ambyar dengan penonton bayaran,” ujarnya.
Artinya, masyarakat dilibatkan secara nyata sebagai subjek, bukan sebagai pelengkap formalitas semata. Pandangan ini mengemuka dalam pelatihan dasar komunikasi dan community development yang digelar secara webinar oleh Universitas Nasional bekerjasama dengan Karya Cita Konsultindo (KCK), Selasa (19/5/2020).
Di hadapan ratusan peserta, Managing Director KCK Budi R Minulya mengatakan, pelatihan ini merupakan implementasi dari kerjasama KCK dengan Unas dalam mempersempit jarak teoritis dengan fakta lapangan yang dinamis. “Hal ini merupakan komitmen kami dalam memperluas jejaring untuk dapat bergerak bersama. Kami berharap dari kalangan kampus juga dapat menjadi salah satu motor penggerak pemberdayaan masyarakat," kata Budi.
Wakil Rektor Bidang PPMK Unas, Ernawati Sinaga menekankan pentingya merespons perubahan yang ada secara bijaksana. Erna mengakui pihaknya membutuhkan sharing pengalaman di lapangan yang sangat unik dan dinamis.
"Kami menyambut baik dan berharap pascapandemi acara ini dapat di-follow up dengan pelatihan sejenis dengan metode pelatihan yang lebih interaktif dan banyak simulasinya," tuturnya.
Acara yang dipandu Ketua LPPM Unas Nonon Saribanon ini menghadirkan narasumber dari KCK, antara lain Hendra Samsuri, Happy Azmi, Bayu Swastika, dan Safrida. Berbasis pengalaman di lapangan, Hendra Samsuri mengatakan program comdev kerapkali berubah-ubah sesuai dengan benturan kepentingan para pelakunya.
Menurutnya hal ini tidak hanya bias, tetapi juga menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek yang didefinisikan kebutuhannya. Akibatnya, program berjalan secara seremonial. “Banyak progam yang secara event terlibat menarik, dihadiri banyak orang, tetapi setelah itu tidak ada kelanjutannya,” katanya.
Hendra mencontohkan program air pengolahan bersih di Jambi. Ia bilang, seolah-olah memang air bersih yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tetapi setelah dilakukan assessment, ternyata bukan air bersih yang mereka butuhkan. "Hal ini terjadi karena kita melihatnya dari permukaan saja, tidak melibatkan masyarakat secara intens untuk menemukan kebutuhan riil mereka," imbuhnya.
Happy Azmi menekankan pentingnya memahami dan menguasai ketrampilan komunikasi sosial untuk menyampaikan program pemberdayaan. Titik tekannya adalah bagaimana masyarakat merasa dihargai dan dilibatkan. "Ibarat penonton konser, perbandingannya adalah antara sobat ambyar dengan penonton bayaran,” ujarnya.
tulis komentar anda