Penguatan budaya literasi yang holistik dan terintegrasi dari hulu hingga hilir, membutuhkan sinergi seluruh stakeholders baik di pusat maupun di daerah. Foto/Ilustrasi
JAKARTA - Penguatan budaya literasi yang holistik dan terintegrasi dari hulu hingga hilir, membutuhkan sinergi dan dukungan dari seluruh stakeholders baik di pusat maupun di daerah. Penguatan hulu budaya literasi di antaranya berupa pengembangan perbukuan dan penguatan konten literasi.
"Antara lain: kebijakan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial untuk meningkatkan partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan berbasis literasi dan kebijakan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan umum provinsi dan kabupaten-kota," ucapnya.
"Pemerintah juga mendorong pemanfaatan dana desa untuk pengembangan perpustakaan-perpustakaan desa sebagai pusat pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga terus memperluas kegiatan pembudayaan gemar membaca di daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar dengan melibatkan para pegiat literasi di daerah, termasuk pustakawan sebagai aktor penting dalam integrasi penguatan sisi hulu dan hilir budaya literasi dalam pemulihan ekonomi dan reformasi struktural," tambah Amich Alhumami.
Mewakili Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Moh Ilham A Hamudy Kepala Perpustakaan Amir Machmud Setjen Kemendagri menyatakan, dalam mendukung peningkatan literasi di daerah, Kemendagri telah menerbitkan Peraturan Mendagri Nomor 18 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dalam regulasi tersebut, pembangunan literasi diukur melalui dua indikator, yaitu; Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) dan Nilai Tingkat Gemar Membaca Masyarakat (TGM). Selain Permendagri Nomor 18 Tahun 2020, salah satu bentuk upaya Kemendagri dalam mendorong budaya literasi adalah dengan diterbitkannya Kepmendagri Nomor 050-3708 Tahun 2020 tentang Hasil Verifikasi dan Validasi Pemutaakhiran Klasifikasi, Kodifikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah.
Regulasi tersebut bisa menjadi pedoman pemerintah daerah dalam menyusun APBD terkait perpustakaan dan literasi. "Dalam Kepmendagri tersebut terdapat “menu” yang bisa dipilih daerah dalam menentukan program penganggaran program literasi di daerahnya. Di dalamnya juga terdapat dua urusan bidang perpustakaan yaitu program pembinaan perpustakaan program pelestarian koleksi nasional dan naskah kuno. Pedoman ini bisa menjadi acuan pemerintah daerah dalam setiap penyusunan RAPBD," ucapnya.
Namun menurut Ilham, meski Kemendagri sudah mendorong dengan regulasi, nampaknya daerah belum terlalu menganggap penting literasi. Dari sisi anggaran, misalnya, berdasarkan data APBD Kementerian Dalam Negeri 2021, tren urusan perpustakaan dalam APBD provinsi selama tiga tahun terakhir mengalami penurunan.
"Jika kita melihat alokasi anggaran per-provinsi 2020 menunjukkan perbedaan signifikan. Misalnya, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan DIY memiliki alokasi tertinggi. Sedangkan Jawa Tengah, NTT, Maluku Utara, dan Papua alokasi anggaran terendah," terangnya.
Selain itu, alokasi anggaran setiap provinsi justru berbanding terbalik dengan indeks kegemaran membaca masyarakat dan indeks pembangunan literasi pada 2020. Daerah dengan anggaran literasi tinggi tidak serta merta mendapat indeks kegemaran membaca dan indeks pengembangan literasi paling tinggi. Indeks kegemaran membaca paling tinggi justru ditempati oleh DIY, dan Indeks pembangunan literasi tertinggi ditempati Kalimantan Selatan.
Oleh karenanya, menurut Ilham, pemerintah daerah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai dan tepat sasaran sesuai kapasitas fiskal masing-masing daerah, serta mendorong konsep perpustakaan yang lebih inklusif, sebagaimana perpustakaan modern pada umumnya. Pasalnya, perpustakaan modern identik dengan sebuah layanan jasa informasi yang dikemas secara menarik untuk kebutuhan pengguna (information society).