AD/ART Demokrat 2020 Dinilai Cacat, Pengamat: Celah Bagi Kubu KLB Menggugat
Kamis, 18 Maret 2021 - 08:00 WIB
JAKARTA - Kisruh internal Partai Demokrat (PD) saat ini dihadapkan pada strategi memainkan opini publik dalam aspek status hukum utamanya berkaitan dengan dugaan adanya perubahan dan penetapan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat pada Kongres 2020 yang lalu. Saat ini, AD/ART PD tengah diuji ke Kemenkumham yang berpotensi berlanjut ke lembaga peradilan.
Perubahan AD/ART ini membuka ruang munculnya Kongres Luar Biasa (KLB) pada awal Maret 2021 lalu yang diiniasi oleh Jhoni Allen Marbun, Darmizal dan sejumlah petinggi PD yang saat ini berseberangan dengan kubu PD di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menganggap, jika benar Kongres 2020 terdapat perubahan AD/ART, maka hal itu menjadi celah bagi kubu Moeldoko untuk menggugat dari sisi presedur dan subtansi. Terlebih, Karyono mengaku mendengar salah satu pendiri Partai Demokrat Ilal Ferhard menyatakan AD/ART Partai Demokrat hasil kongres 2020 tidak diakui, sebab AD/ART tersebut dibuat di luar kongres. "Artinya kalau informasi itu benar, kalau itu bisa dibuktikan maka ya itu bisa cacat prosedur dan cacat subtansi, maka itu rawan untuk digugat, nah ini itu kelemahan bagi kubu AHY itu bisa menjadi dasar pertimbangan bagi Kemkumham atau pun pengadilan," ujarnya, Kamis (18/3/2021).
Lebih lanjut Karyono berpandangan, hal itu bisa menjadi celah bagi kubu Moeldoko untuk menggugat kepengurusan Demokrat di bawah kepemimpinan AHY karena dinilai bertentangan dengan UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik. "Dan hal itu bisa menjadi kelemahan bagi kubu AHY, tapi ini tentu sajakan karena ada SK Kumham yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada kubu AHY sudah dibuat, sudah mendapatkan SK, oleh karena itu SK itu juga harus digugat, artinya kemungkinan pengadilan membatalkan kepengurusan AHY cukup besar," ungkapnya.
Menurut Karyono, hal lain yang berpotensi untuk digugat adalah AD/ART Tahun 2020 dari pasal yang mengatur kewenangan Majelis Tinggi partai yang dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat sekali ada upaya sistematis, terstuktur untuk melanggengkan kekuasaan dinasti kubu Cikeas.
Dia menduga, AD/ART itu dibuatkan skenario untuk menutup ruang bagi kelompok yang tidak puas terhadap kepemimpinan AHY untuk melaksanakan KLB. "Karena apa, untuk menyelenggarakan KLB kan harus mendapatkan persetujuan atau usulan dari Majelis Tinggi nah sementera ketua Majelis Tingginya kan Pak SBY," beber mantan peneliti LSI Denny JA itu.
Selain itu, Karyono melihat dalam AD/ART juga disebutkan pasal untuk melakukan KLB mensyaratkan ada usulan dari 2/3 DPD, dan 50% DPC, namun dikunci harus berdasarkan persetujuan dari Majelis Tinggi. Sehingga, mekanisme itu membuat semangat demokrasi di Partai Demokrat menjadi mati. "Nah itukan terlihat sekali bahwa ada upaya secara sistematis untuk mengamankan AHY sebagai ketua umum, jadi ya mau demokratis tidak jadi demokratis, padahal kan yang memiliki suara kan DPD dan DPC," jelasnya.
Di sisi lain, tutur Karyono, yang menjadi janggal adalah dalam susunan Majelis Tinggi, AHY selaku Ketua Umum Partai juga merangkap sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi, disusul Andi Mallarangeng menjadi sekretaris majelis tinggi dan beberapa orang lain yang dikenal sebagai loyalis dan orang dekat SBY. "Masa misalnya AHY sebagai ketua umum, masa dia juga sebagai Majelis Tinggi itu kan menjadi lucu, jadi AD/ART Tahun 2020 itu terkait dengan yang mengatur kewenangan Majelis tinggi ya itu tidak demokratis, mematikan demokrasi di tubuh Demokrat," ujarnya.
Perubahan AD/ART ini membuka ruang munculnya Kongres Luar Biasa (KLB) pada awal Maret 2021 lalu yang diiniasi oleh Jhoni Allen Marbun, Darmizal dan sejumlah petinggi PD yang saat ini berseberangan dengan kubu PD di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menganggap, jika benar Kongres 2020 terdapat perubahan AD/ART, maka hal itu menjadi celah bagi kubu Moeldoko untuk menggugat dari sisi presedur dan subtansi. Terlebih, Karyono mengaku mendengar salah satu pendiri Partai Demokrat Ilal Ferhard menyatakan AD/ART Partai Demokrat hasil kongres 2020 tidak diakui, sebab AD/ART tersebut dibuat di luar kongres. "Artinya kalau informasi itu benar, kalau itu bisa dibuktikan maka ya itu bisa cacat prosedur dan cacat subtansi, maka itu rawan untuk digugat, nah ini itu kelemahan bagi kubu AHY itu bisa menjadi dasar pertimbangan bagi Kemkumham atau pun pengadilan," ujarnya, Kamis (18/3/2021).
Baca Juga
Lebih lanjut Karyono berpandangan, hal itu bisa menjadi celah bagi kubu Moeldoko untuk menggugat kepengurusan Demokrat di bawah kepemimpinan AHY karena dinilai bertentangan dengan UU No 2 Tahun 2011 tentang partai politik. "Dan hal itu bisa menjadi kelemahan bagi kubu AHY, tapi ini tentu sajakan karena ada SK Kumham yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada kubu AHY sudah dibuat, sudah mendapatkan SK, oleh karena itu SK itu juga harus digugat, artinya kemungkinan pengadilan membatalkan kepengurusan AHY cukup besar," ungkapnya.
Menurut Karyono, hal lain yang berpotensi untuk digugat adalah AD/ART Tahun 2020 dari pasal yang mengatur kewenangan Majelis Tinggi partai yang dijabat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat sekali ada upaya sistematis, terstuktur untuk melanggengkan kekuasaan dinasti kubu Cikeas.
Dia menduga, AD/ART itu dibuatkan skenario untuk menutup ruang bagi kelompok yang tidak puas terhadap kepemimpinan AHY untuk melaksanakan KLB. "Karena apa, untuk menyelenggarakan KLB kan harus mendapatkan persetujuan atau usulan dari Majelis Tinggi nah sementera ketua Majelis Tingginya kan Pak SBY," beber mantan peneliti LSI Denny JA itu.
Selain itu, Karyono melihat dalam AD/ART juga disebutkan pasal untuk melakukan KLB mensyaratkan ada usulan dari 2/3 DPD, dan 50% DPC, namun dikunci harus berdasarkan persetujuan dari Majelis Tinggi. Sehingga, mekanisme itu membuat semangat demokrasi di Partai Demokrat menjadi mati. "Nah itukan terlihat sekali bahwa ada upaya secara sistematis untuk mengamankan AHY sebagai ketua umum, jadi ya mau demokratis tidak jadi demokratis, padahal kan yang memiliki suara kan DPD dan DPC," jelasnya.
Di sisi lain, tutur Karyono, yang menjadi janggal adalah dalam susunan Majelis Tinggi, AHY selaku Ketua Umum Partai juga merangkap sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi, disusul Andi Mallarangeng menjadi sekretaris majelis tinggi dan beberapa orang lain yang dikenal sebagai loyalis dan orang dekat SBY. "Masa misalnya AHY sebagai ketua umum, masa dia juga sebagai Majelis Tinggi itu kan menjadi lucu, jadi AD/ART Tahun 2020 itu terkait dengan yang mengatur kewenangan Majelis tinggi ya itu tidak demokratis, mematikan demokrasi di tubuh Demokrat," ujarnya.
(cip)
tulis komentar anda