Fukushima, BATAN Indah, dan Transformasi Digital
Jum'at, 12 Maret 2021 - 05:15 WIB
Kapan terjadinya “pembegalan” Cs-137, kita tidak tahu pasti. Sistem BAPETEN maupun BATAN yang masih manual, ketika itu, tidak memungkinkan deteksi pemalsuan dokumen transportasi dan pelimbahan secara “real-time”.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran memberikan tugas menjaga keselamatan, keamanan, dan garda aman (safeguards) nuklir di fasilitas pemegang izin. Sekalipun rentang pengawasan BAPETEN dari craddle to grave, tetapi masih berkisar pada fasilitas pemegang izin dan rantai pasokan nuklir (nuclear supply chain) yang legal: dari import (atau produksi), pelabuhan, transportasi ke pemegang izin, pemanfaatan/penyimpanan/kepemilikan oleh pemegang izin, kemudian transportasi pelimbahan ke PTLR-BATAN, atau reekspor ke negara asal. Semuanya memiliki izin BAPETEN. Rantai pasokan ilegal belum menjadi fokus sebelumnya, padahal mungkin justru lebih besar. Penyelundupan/pencurian nuklir (IAEA menggunakan istilah illicit trafficking) terjadi karena ada terorisme nuklir, baik oleh state actors maupun kelompok teroris. Mereka tidak membuat bom nuklir, tetapi bom kotor, yaitu bom yang ketika diledakkan akan menyebarkan zat radioaktif, misalnya, Cs-137, untuk menimbulkan teror. Selain itu adalah alasan bisnis murni.
BATAN Indah maupun Fukushima bukan black swan, sebetulnya dapat dicegah. Idealnya, seluruh Indonesia diliput oleh detektor yang menetap, yang dapat memberikan “alert” atau “alarm” secara real-time, ketika ada zat radioaktif yang terbuka dan dibuang sehingga 2 unkowns dapat diketahui. Detektor terdekat akan memberikan info lokasi dan info waktu, saat alarm berbunyi. Namun demikian, keterbatasan dana membuat pilihan itu tidak feasible. Sistem BAPETEN dapat memberikan potret ekosistem industri nuklir Indonesia. Data perizinan dan inspeksi dapat dianalisis untuk menentukan lokasi potensial terjadinya “BATAN Indah” lainnya. Langkah-langkah proaktif dapat ditempuh untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
Karena BAPETEN sebagai Pengawas Nuklir harus well-informed, maka data adalah kekayaan. Transformasi digital, yang dapat melibatkan juga konsep “nuclear-vigilant smart cities”, akan semakin meningkatkan keselamatan, keamanan, garda aman, dan kesiapsiagaan nuklir.
Informasi, knowledge, dan wisdom diperoleh melalui pemrosesan data. Analitika Data tidak boleh dilakukan sembarangan. “If you torture the data long enough, it will confess” (dalam bahasa Jawa adalah othak athik gathuk, antardata pasti dapat dihubung-hubungkan, sekalipun tidak berkorelasi) adalah satu dari sekian banyak kelemahan Analitika Data, menurut Gary Smith and Jay Cordes, dalam bukunya The 9 Pitfalls of Data Science, mensitir Ronald Coase, Namun demikian, tanpa Analitika Data, kemampuan prediktif sistem informasi tidak dapat diperoleh. Keselamatan dan keamanan nuklir sangat bertumpu pada pengetahuan badan pengawas atas ekosistem industri nuklir. “Alert” dan “alarm” yang muncul dari data perizinan dan inspeksi akan mampu mencegah insiden nuklir.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran memberikan tugas menjaga keselamatan, keamanan, dan garda aman (safeguards) nuklir di fasilitas pemegang izin. Sekalipun rentang pengawasan BAPETEN dari craddle to grave, tetapi masih berkisar pada fasilitas pemegang izin dan rantai pasokan nuklir (nuclear supply chain) yang legal: dari import (atau produksi), pelabuhan, transportasi ke pemegang izin, pemanfaatan/penyimpanan/kepemilikan oleh pemegang izin, kemudian transportasi pelimbahan ke PTLR-BATAN, atau reekspor ke negara asal. Semuanya memiliki izin BAPETEN. Rantai pasokan ilegal belum menjadi fokus sebelumnya, padahal mungkin justru lebih besar. Penyelundupan/pencurian nuklir (IAEA menggunakan istilah illicit trafficking) terjadi karena ada terorisme nuklir, baik oleh state actors maupun kelompok teroris. Mereka tidak membuat bom nuklir, tetapi bom kotor, yaitu bom yang ketika diledakkan akan menyebarkan zat radioaktif, misalnya, Cs-137, untuk menimbulkan teror. Selain itu adalah alasan bisnis murni.
BATAN Indah maupun Fukushima bukan black swan, sebetulnya dapat dicegah. Idealnya, seluruh Indonesia diliput oleh detektor yang menetap, yang dapat memberikan “alert” atau “alarm” secara real-time, ketika ada zat radioaktif yang terbuka dan dibuang sehingga 2 unkowns dapat diketahui. Detektor terdekat akan memberikan info lokasi dan info waktu, saat alarm berbunyi. Namun demikian, keterbatasan dana membuat pilihan itu tidak feasible. Sistem BAPETEN dapat memberikan potret ekosistem industri nuklir Indonesia. Data perizinan dan inspeksi dapat dianalisis untuk menentukan lokasi potensial terjadinya “BATAN Indah” lainnya. Langkah-langkah proaktif dapat ditempuh untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
Karena BAPETEN sebagai Pengawas Nuklir harus well-informed, maka data adalah kekayaan. Transformasi digital, yang dapat melibatkan juga konsep “nuclear-vigilant smart cities”, akan semakin meningkatkan keselamatan, keamanan, garda aman, dan kesiapsiagaan nuklir.
Informasi, knowledge, dan wisdom diperoleh melalui pemrosesan data. Analitika Data tidak boleh dilakukan sembarangan. “If you torture the data long enough, it will confess” (dalam bahasa Jawa adalah othak athik gathuk, antardata pasti dapat dihubung-hubungkan, sekalipun tidak berkorelasi) adalah satu dari sekian banyak kelemahan Analitika Data, menurut Gary Smith and Jay Cordes, dalam bukunya The 9 Pitfalls of Data Science, mensitir Ronald Coase, Namun demikian, tanpa Analitika Data, kemampuan prediktif sistem informasi tidak dapat diperoleh. Keselamatan dan keamanan nuklir sangat bertumpu pada pengetahuan badan pengawas atas ekosistem industri nuklir. “Alert” dan “alarm” yang muncul dari data perizinan dan inspeksi akan mampu mencegah insiden nuklir.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda