Pemilu Serentak? Berikut 5 Catatan Kritis Kode Inisiatif

Selasa, 02 Maret 2021 - 19:16 WIB
Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda saat berbicara dalam diskusi daring Desain Pemilu Serentak yang digelar CSIPP, belum lama ini. Foto/Tangkapan Layar
JAKARTA - Sebanyak 6 poin desain pemilu serentak yang telah disahkan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2019 sebagaimana pada Pasal 201 UU No 7/2017 tentang Pemilu dianggap tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang seringkali timbul ketika pemilu dilaksanakan. Ada 5 catatan kritis mengenai pemilu serentak tersebut.

"Karena sebenarnya permasalahan yang seharusnya segera diselesaikan berhubungan dengan unsur prinsipil dan teknikal," kata Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda saat berbicara dalam diskusi daring 'Desain Pemilu Serentak' yang digelar oleh Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP), belum lama ini.

Menurut Violla, pada dasarnya upaya-upaya yang dilakukan oleh MK adalah untuk meningkatkan sistem presidensil yang efektif. Namun sayangnya hingga saat ini MK belum mendefinisikan secara mendalam.

Violla mencontohkan upaya yang dilakukan MK hanya sampai memberikan 6 alternatif desain pelaksanaan pemilu serentak . Netapi pemutusan mana yang akan dipakai, sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan (DPR).



"Desain pelaksanaan pemilu serentak bukan hanya urusan waktu, tetapi juga mencakup penegakkan hukum dan pembentukan konsep pemilu serentak secara holistik," tegasnya.

MK seharusnya juga memperhatikan teknik-teknik dan prosedural yang sekiranya dapat memicu permasalahan dalam pelaksanaan pemilu serentak . Contohnya seperti hak-hak konstitusional warga negara yang tidak terpenuhi meskipun mereka memiliki KTP.

"Hal ini terjadi sempat terjadi pada 2009. Saat itu banyak warga yang memiliki KTP tidak dapat terpenuh hak-hak konstitusionalnya untuk memilih dikarenakan tidak diberikan undangan oleh pemerintah atau panitia setempat," tambahnya.

Atas dasar itulah, Kode Inisiatif memberikan lima catatan kritis. Pertama, hak konstitusional pada pemilih, hak atas calon-calon pemimpin cadangan dari kelompok-kelompok minoritas juga perlu diperhatikan.

Kedua, penyelenggaraan pemilu serentak juga pasti akan banyak memberatkan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Ketiga, selain unsur teknis dan prosedural, agar pemilu dapat terwujud sebagai bentuk pemenuhan hak demokrasi yang konstitusional yang utuh, maka manajemen dan penegakan hukum pemilu juga harus diperhatikan.

Keempat, dalam pemilu serentak tahun ini ditakutkan masyarakat juga akan hanya fokus untuk pemilu presiden, sehingga pengawasan pemilu tidak optimal dan maraknya pelanggaran mungkin terjadi, sebagaimana pada pemilu 2019.

Kelima, khusus untuk Pemilu di tingkatan lokal (Pilkada), lebih baik dilaksanakan di tahun 2022 dan 2023. Atau bisa juga di undur di tahun 2025 jika ada perubahan dalam kerangka hukum dan antisipasi pengadaan pelaksana tugas (plt) bisa dilakukan.

"Hal itu dilakukan agar penyelenggara pemilu dapat lebih fokus dan penegakan hukum bisa dilakukan secara maksimal. Sehingga bangunan demokrasi Indonesia lebih berkualitas," tandasnya.
(poe)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More