Cegah Permusuhan, Pengamat: Kedepankan Kesantunan Publik dalam Berdemokrasi
Sabtu, 20 Februari 2021 - 11:23 WIB
JAKARTA - Public civility atau kesantunan publik harus dikedepankan saat berdemokrasi seperti mengeluarkan kritik atau saran, agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Artinya, bila kritik atau saran itu dilontarkan atas dasar kebencian bisa menimbulkan permusuhan atau kebencian baru.
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah, menyampaikan kalau melakukan kritik itu janganlah menyinggung pribadi seseorang. Karena menurutnya kalau sudah sampai menyinggung pribadi seseorang jadinya adalah pencemaran nama baik. Kemudian juga jangan menimbulkan atau membuat fitnah, karena jika mengarah ke fitnah, maka hal itu merupakan delik pidana.
”Jadi jangan melakukan fitnah dengan membuat pernyataan-pernyataan atau isu-isu yang sebenarnya belum tentu kebenarannya. Jangan juga membuat atau menciptakan berita-berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran atau meresahkan di masyarakat,” ujar Trubus Rahardiansyahdi Jakarta, Sabtu (20/2/2021).
Trubus yang juga Sekretaris Jenderal Himpunan Bina Mualaf Indonesia (Sekjen HBMI) mencontohkan informasi yang mengarah hoaks seperti membuat penyataan yang seolah-olah di suatu tempat akan terjadi kerusuhan atau konflik sosial di tempat tertentu. Atau ada agama tertentu yang diserang oleh suatu masyarakat tertentu. Menurut dia, sikap itu merupakan bentuk-bentuk berita bohong yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
”Dampak awalnya tentu sifatnya bisa secara mikro yakni lebih kepada ketidaksenangan pada pihak-pihak tertentu yang dianggap berbeda. Tapi kalau dampak secara luas tentunya bisa sampai terjadi konflik sosial, konflik kekerasan, hingga diskriminasi yang bisa berakibat pada penghilangan nyawa seseorang,” tutur Dosen Tetap di Fakultas Hukum Trisakti itu.
Menurutnya, untuk mengedepankan kesantunan di dalam berucap dan bertindak untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat ni sejatinya memiliki social capital atau modal sosial yang cukup tinggi. Modal sosial bangsa Indonesia seperti gotong royong dan toleransi. Untuk membangun gotong royong dan toleransi harus dilakukan dengan cara yang sering seperti dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat. ”Perlu dilakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat dengan bermusyawarah dan dialog. Bukan sedikit-sedikit di bawa ke urusan hukum,” kata peraih gelar Doktoral bidang Ilmu Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) ini.
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah, menyampaikan kalau melakukan kritik itu janganlah menyinggung pribadi seseorang. Karena menurutnya kalau sudah sampai menyinggung pribadi seseorang jadinya adalah pencemaran nama baik. Kemudian juga jangan menimbulkan atau membuat fitnah, karena jika mengarah ke fitnah, maka hal itu merupakan delik pidana.
”Jadi jangan melakukan fitnah dengan membuat pernyataan-pernyataan atau isu-isu yang sebenarnya belum tentu kebenarannya. Jangan juga membuat atau menciptakan berita-berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran atau meresahkan di masyarakat,” ujar Trubus Rahardiansyahdi Jakarta, Sabtu (20/2/2021).
Trubus yang juga Sekretaris Jenderal Himpunan Bina Mualaf Indonesia (Sekjen HBMI) mencontohkan informasi yang mengarah hoaks seperti membuat penyataan yang seolah-olah di suatu tempat akan terjadi kerusuhan atau konflik sosial di tempat tertentu. Atau ada agama tertentu yang diserang oleh suatu masyarakat tertentu. Menurut dia, sikap itu merupakan bentuk-bentuk berita bohong yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
”Dampak awalnya tentu sifatnya bisa secara mikro yakni lebih kepada ketidaksenangan pada pihak-pihak tertentu yang dianggap berbeda. Tapi kalau dampak secara luas tentunya bisa sampai terjadi konflik sosial, konflik kekerasan, hingga diskriminasi yang bisa berakibat pada penghilangan nyawa seseorang,” tutur Dosen Tetap di Fakultas Hukum Trisakti itu.
Menurutnya, untuk mengedepankan kesantunan di dalam berucap dan bertindak untuk menyampaikan aspirasi, masyarakat ni sejatinya memiliki social capital atau modal sosial yang cukup tinggi. Modal sosial bangsa Indonesia seperti gotong royong dan toleransi. Untuk membangun gotong royong dan toleransi harus dilakukan dengan cara yang sering seperti dengan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat. ”Perlu dilakukan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat dengan bermusyawarah dan dialog. Bukan sedikit-sedikit di bawa ke urusan hukum,” kata peraih gelar Doktoral bidang Ilmu Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) ini.
(cip)
tulis komentar anda