RUU Pemasyarakatan Dinilai Beri Ruang Ringankan Hukuman Koruptor
Senin, 18 Mei 2020 - 10:55 WIB
JAKARTA - Pemerintah dan DPR tengah menggenjot pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS). Indonesia Corruption Watch (ICW) mengganggap beleid baru untuk memperlonggar syarat bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU PAS rasnya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa. Padahal, korupsi di pentas internasional dianggap sebagai extraordinary crime, white collar crime, dan transnational crime.
"Pemerintah sebenarnya bukan kali pertama ini saja ingin mempermudah akses narapidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman. ICW mencatat dalam rentang 2015-2020 setidaknya delapan kali Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mewacanakan isu ini," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (18/5/2020).
Intrumen hukum yang kerap dimanfaatkan Yasonna adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Alasannya yang digunakan beragam, mulai dari kelebihan kapasitas lapas hingga memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Usaha itu selalu mental karena penolakan masyarakat.
ICW mempunyai beberapa catatan terkait RUU PAS yang sedang bergulir di DPR. Pertama, ketidakjelasan pemaknaan atas konsep pemberian hal kegiatan rekreasional pada tahan maupun narapiadana. Ini tertera pada pasal 7 huruf c dan pasal 9 huruf c. Merujuk pada pernyataan anggota Komisi III Muslim Ayub, arti rekreasional adalah tahanan narapidan berhak plesiran ke pusat perbelanjaan.
"Tentu alur logika seperti ini tidak dapat dibenarkan. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang dalam tahanan dan pelaku kejahatan yang sudah terbukti bersalah dibenarkan melakukan kunjungan ke tempat-tempat hiburan," terang Kurnia.
Kedua, ketiadaan syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas, maupun pembebasan bersyarat. Merujuk pada pasal 10 ayat 1-3, praktis persyarakat narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat hanya berkelakuaan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukan penurunan tingkat risiko.
ICW menilai ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan pelaku tindak pidana umum lainnya. Ketiga, RUU PAS menghapus ketentuan PP Nomor 99 Tahun 2012 dan mengembalikan pada PP 32 Tahun 1999.
Kurnia menyebut hal ini sebagai kemunduran pola pikir dari pembentuk UU. Alasannya, PP Nomor 99 Tahun 2012 merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.
"Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 terdapat beberapa syarat khusu bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimilasi, maupun pembebasan bersyarat. Syarat-syarat itu, antara lain, menjadi justice collaborator, membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remis, serta mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi penegak hukum sebelum memberikan asimilasi maupun pembebasan bersyarat," tuturnya.
Berdasarkan catatan kritis di atas, ICW menyatakan pembahasan RUU PAS momentumnya tidak tepat, bertentangan dengan masyarakat, dan menjauhkan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi. Selain itu, RUU PAS menegasikan kesepakatan United Nation Against Corruption (UNCAC) dan mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
"Putusan MA Nomor 51 Tahun 2013 yang menegaskan bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 menjadi cermin keadilan. Alasannya, menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dnegan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik," pungkasnya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhan mengatakan melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU PAS rasnya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa. Padahal, korupsi di pentas internasional dianggap sebagai extraordinary crime, white collar crime, dan transnational crime.
"Pemerintah sebenarnya bukan kali pertama ini saja ingin mempermudah akses narapidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman. ICW mencatat dalam rentang 2015-2020 setidaknya delapan kali Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, mewacanakan isu ini," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (18/5/2020).
Intrumen hukum yang kerap dimanfaatkan Yasonna adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Alasannya yang digunakan beragam, mulai dari kelebihan kapasitas lapas hingga memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Usaha itu selalu mental karena penolakan masyarakat.
ICW mempunyai beberapa catatan terkait RUU PAS yang sedang bergulir di DPR. Pertama, ketidakjelasan pemaknaan atas konsep pemberian hal kegiatan rekreasional pada tahan maupun narapiadana. Ini tertera pada pasal 7 huruf c dan pasal 9 huruf c. Merujuk pada pernyataan anggota Komisi III Muslim Ayub, arti rekreasional adalah tahanan narapidan berhak plesiran ke pusat perbelanjaan.
"Tentu alur logika seperti ini tidak dapat dibenarkan. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang dalam tahanan dan pelaku kejahatan yang sudah terbukti bersalah dibenarkan melakukan kunjungan ke tempat-tempat hiburan," terang Kurnia.
Kedua, ketiadaan syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas, maupun pembebasan bersyarat. Merujuk pada pasal 10 ayat 1-3, praktis persyarakat narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat hanya berkelakuaan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukan penurunan tingkat risiko.
ICW menilai ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan pelaku tindak pidana umum lainnya. Ketiga, RUU PAS menghapus ketentuan PP Nomor 99 Tahun 2012 dan mengembalikan pada PP 32 Tahun 1999.
Kurnia menyebut hal ini sebagai kemunduran pola pikir dari pembentuk UU. Alasannya, PP Nomor 99 Tahun 2012 merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime.
"Dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 terdapat beberapa syarat khusu bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimilasi, maupun pembebasan bersyarat. Syarat-syarat itu, antara lain, menjadi justice collaborator, membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remis, serta mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi penegak hukum sebelum memberikan asimilasi maupun pembebasan bersyarat," tuturnya.
Berdasarkan catatan kritis di atas, ICW menyatakan pembahasan RUU PAS momentumnya tidak tepat, bertentangan dengan masyarakat, dan menjauhkan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi. Selain itu, RUU PAS menegasikan kesepakatan United Nation Against Corruption (UNCAC) dan mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
"Putusan MA Nomor 51 Tahun 2013 yang menegaskan bahwa PP Nomor 99 Tahun 2012 menjadi cermin keadilan. Alasannya, menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dnegan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda