Pemolisian Masyarakat Mampu Deteksi Gangguan Kantibmas dan Terorisme
Jum'at, 19 Februari 2021 - 15:42 WIB
JAKARTA - Pemolisian masyarakat dipandang bisa memaksimalkan deteksi terhadap gangguan kantibmas dan terorisme . Dasarnya, perbandingan jumlah personel Polri dengan masyarakat yang masih besar sehingga menjadi kendala dalam menjaga kantibmas.
Dengan demikian pelibatan masyarakat dipandang penting sebagai deteksi dini kemunculan aksi kekerasan hingga tindakan mengarah anarkis dan terorisme di Indonesia. Pemolisian masyarakat dengan pembatasan kewenangan dan diawasi pelaksanaannya dianggap mampu memaksimalkan deteksi gangguan Kantibmas. Baca juga: Perpres Pemolisian Masyarakat Menegaskan Komitmen Pemerintah Atasi Ekstremisme
“Keberadaan Perpres No 7/2021 tentang RAN PE ini di mana disebutkan perlunya optimalisasi peran pemolisian masyarakat dalam pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme sangat tepat,” kata Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni, Jumat (19/2/2021).
Menurut Sahroni, tahun lalu jumlah personel Polri sebanyak 416.414 orang. Sementara di tahun yang sama, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 270,20 juta orang.
Menilik angka tersebut, rasio personel Polri dengan jumlah penduduk masih terbilang tinggi yaitu 1 anggota Polri berbanding 648 orang. Jumlah ini masih ideal dari angka 1:350.
Selain penggunaan teknologi, pemeliharaan Kantibmas juga memerlukan bantuan lain seperti pelibatan masyarakat dalam bentuk pemolisian masyarakat. Keberadaan Perpres yang mengatur pemolisian masyarakat sudah tepat.
“Tapi seiring pelibatan masyarakat, harus dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Kewenangannya dalam fungsi penindakan tidak sama seperti Polri, sehingga jangan sampai pemolisian masyarakat digunakan untuk sewenang-wenang,” ujarnya.
Sebelumnya ketika melakukan sosialisasi empat pilar di Swasembada Timur, Jakarta Utara, 8 Februari lalu, Sahroni yang juga tercatat sebagai anggota MPR mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Menjawab kekhawatiran Kosim warga RW 01 Sunter Agung yang hadir di kegiatan tersebut mengenai urgensi pemolisian masyarakat , Sahroni menyebutkan banyak sisi positif diperoleh selama fungsinya dibatasi tak seperti dimiliki Polri. Setuju dengan pendapat pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, Sahroni menyampaikan pelatihan pemolisian masyarakat dapat meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan keterampilan polisi serta masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme.
“Di samping itu pola pelatihan pemolisian masyarakat harus selektif baik dari peserta maupun materinya dan tidak mengarah pada fungsi kepolisian,” terangnya.
Dengan demikian pelibatan masyarakat dipandang penting sebagai deteksi dini kemunculan aksi kekerasan hingga tindakan mengarah anarkis dan terorisme di Indonesia. Pemolisian masyarakat dengan pembatasan kewenangan dan diawasi pelaksanaannya dianggap mampu memaksimalkan deteksi gangguan Kantibmas. Baca juga: Perpres Pemolisian Masyarakat Menegaskan Komitmen Pemerintah Atasi Ekstremisme
“Keberadaan Perpres No 7/2021 tentang RAN PE ini di mana disebutkan perlunya optimalisasi peran pemolisian masyarakat dalam pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme sangat tepat,” kata Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni, Jumat (19/2/2021).
Menurut Sahroni, tahun lalu jumlah personel Polri sebanyak 416.414 orang. Sementara di tahun yang sama, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 270,20 juta orang.
Menilik angka tersebut, rasio personel Polri dengan jumlah penduduk masih terbilang tinggi yaitu 1 anggota Polri berbanding 648 orang. Jumlah ini masih ideal dari angka 1:350.
Selain penggunaan teknologi, pemeliharaan Kantibmas juga memerlukan bantuan lain seperti pelibatan masyarakat dalam bentuk pemolisian masyarakat. Keberadaan Perpres yang mengatur pemolisian masyarakat sudah tepat.
“Tapi seiring pelibatan masyarakat, harus dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Kewenangannya dalam fungsi penindakan tidak sama seperti Polri, sehingga jangan sampai pemolisian masyarakat digunakan untuk sewenang-wenang,” ujarnya.
Sebelumnya ketika melakukan sosialisasi empat pilar di Swasembada Timur, Jakarta Utara, 8 Februari lalu, Sahroni yang juga tercatat sebagai anggota MPR mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Menjawab kekhawatiran Kosim warga RW 01 Sunter Agung yang hadir di kegiatan tersebut mengenai urgensi pemolisian masyarakat , Sahroni menyebutkan banyak sisi positif diperoleh selama fungsinya dibatasi tak seperti dimiliki Polri. Setuju dengan pendapat pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, Sahroni menyampaikan pelatihan pemolisian masyarakat dapat meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan keterampilan polisi serta masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme.
“Di samping itu pola pelatihan pemolisian masyarakat harus selektif baik dari peserta maupun materinya dan tidak mengarah pada fungsi kepolisian,” terangnya.
(poe)
tulis komentar anda