Setuju Direvisi, Anggota DPR Ini Beberkan 'Dosa-Dosa' UU ITE
Rabu, 17 Februari 2021 - 15:54 WIB
JAKARTA - Rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Ekonomi ( UU ITE ) direspons positif.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari mengaku setuju dengan sikap Presiden Jokowi itu. Penerapan UU ITE selama ini dinilainya banyak bermasalah sehingga menimbulkan banyak korban. "Dalam penerapannya cenderung multitafsir. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya, pasal ini menjadi pasal yang bisa multitafsir. Siapa saja bisa dikriminalisasi, bisa saling lapor. Masyarakat biasa, tokoh hingga jurnalis juga ikut terjerat," kata Taufik saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Dia menilai, pendangan Presiden untuk membuka peluang merevisi UU ITE sudah didasarkan pada fakta di lapangan.
Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sejak 2016 sampai dengan Februari 2020 untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara).
Sementara pada Pasal 28 Ayat 2 berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Muatan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk kalimat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dalam Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 ini yang tafsirnya bisa luas. Kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian," ungkap mantan aktivis HAM ini.
Dia mengatakan, pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE pada akhirnya bisa menciptakan ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan kritik.
"Sebaiknya pasal yang potensial menjadi pasal karet dihapus atau dicabut saja. Selanjutnya perlu dipikirkan agar masyarakat diberi pengetahuan yang cukup tentang literasi digital khususnya dalam memproduksi konten digital. Masyarakat diedukasi seperti apa batasan-batasan dalam menggunakan teknologi informasi terutama di media sosial, sehingga penggunaan teknologi tetap berjalan sesuai dengan fungsi positifnya," tuturnya. (Rakhmatulloh)
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari mengaku setuju dengan sikap Presiden Jokowi itu. Penerapan UU ITE selama ini dinilainya banyak bermasalah sehingga menimbulkan banyak korban. "Dalam penerapannya cenderung multitafsir. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya, pasal ini menjadi pasal yang bisa multitafsir. Siapa saja bisa dikriminalisasi, bisa saling lapor. Masyarakat biasa, tokoh hingga jurnalis juga ikut terjerat," kata Taufik saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Dia menilai, pendangan Presiden untuk membuka peluang merevisi UU ITE sudah didasarkan pada fakta di lapangan.
Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sejak 2016 sampai dengan Februari 2020 untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara).
Sementara pada Pasal 28 Ayat 2 berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Muatan penghinaan, pencemaran nama baik termasuk kalimat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan dalam Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 ini yang tafsirnya bisa luas. Kritikan bisa dianggap menghina, bahkan bisa dianggap menyebar informasi dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian," ungkap mantan aktivis HAM ini.
Dia mengatakan, pasal-pasal karet yang kerap dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi dan membungkam kebebasan berekspresi seperti dalam UU ITE pada akhirnya bisa menciptakan ketakutan di masyarakat dalam menyampaikan kritik.
"Sebaiknya pasal yang potensial menjadi pasal karet dihapus atau dicabut saja. Selanjutnya perlu dipikirkan agar masyarakat diberi pengetahuan yang cukup tentang literasi digital khususnya dalam memproduksi konten digital. Masyarakat diedukasi seperti apa batasan-batasan dalam menggunakan teknologi informasi terutama di media sosial, sehingga penggunaan teknologi tetap berjalan sesuai dengan fungsi positifnya," tuturnya. (Rakhmatulloh)
(dam)
tulis komentar anda