Minta Dikritik, Partai Demokrat: Jokowi Gagal Gunakan UU ITE
Selasa, 16 Februari 2021 - 12:50 WIB
"Nah, mungkin karena itulah beliau minta para pendukungnya aktif mengkritik, mengingatkan kalau ada langkah beliau yang tidak berpihak pada rakyat," katanya.
Mengutip Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kritik itu laiknya obat. Dosisnya tepat, bakal mampu menanggulangi permasalahan. Sedangkan pujian itu laksana gula. Kalau berlebihan, bisa menyebabkan sakit.
Menurut Herzaky, jika pernyataan Jokowi ditujukan kepada koalisi masyarakat sipil, media, penggiat demokrasi dan HAM, partai politik yang bukan koalisi pemerintah, dan rakyat kebanyakan, maka Jokowi dan para pejabat pemerintahannya yang mesti introspeksi diri. "Sudah banyak sebenarnya kritik yang dilayangkan. Apa belum cukup kritiknya selama ini?" kata Herzaky.
Lebih lanjut ia mengatakan, sekarang orang mulai khawatir ketika mengeluarkan pendapat. Sebab, UU ITE yang seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan transaksi elektronik, malah dijadikan alat gebuk untuk yang berbeda pendapat.
Diungkapkan dia, data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE, naik lebih dari tiga kali lipat di era pemerintahan Jokowi dibandingkan pemerintahan SBY.
"Dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019). Peningkatan tiga kali lipat ini luar biasa. Padahal, baru satu indikator ini yang kita gunakan," katanya.
"Ibarat kata, Pemerintahan Jokowi dan pemerintahan sebelumnya sama-sama dibekali tongkat. Bedanya, pemerintahan sekarang lebih rajin menggunakan tongkat itu buat menggebuk, bukan buat membantu orang jalan," ungkapnya.
Karena itulah, wajar jika publik skeptis merespons pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik. Selama ini, bukan masyarakat yang kurang aktif mengkritik, melainkan pemerintah yang seakan tak bisa menerima kritik. "Ada pandangan yang berkembang di publik, kalau sedikit kritik saja ke pemerintah, bakal langsung ditangkap. Dijerat dengan UU ITE. Gagal dengan UU ITE, digunakanlah aturan terkait COVID-19," katanya.
Karena itulah, sambung dia, sebaiknya pemerintah introspeksi diri jika meminta masyarakat aktif mengkritiknya. Bukan masyarakat tidak aktif mengkritik, melainkan pemerintah yang belum aktif mendengarkan. Aktifnya sementara ini terkesan baru dalam hal menangkap para pengkritiknya.
Dalam hal ini, presiden minimal lebih aktif mengingatkan dan menegur para pembantunya agar tidak menggunakan UU ITE untuk menggebuk yang berbeda pendapat.
Mengutip Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kritik itu laiknya obat. Dosisnya tepat, bakal mampu menanggulangi permasalahan. Sedangkan pujian itu laksana gula. Kalau berlebihan, bisa menyebabkan sakit.
Menurut Herzaky, jika pernyataan Jokowi ditujukan kepada koalisi masyarakat sipil, media, penggiat demokrasi dan HAM, partai politik yang bukan koalisi pemerintah, dan rakyat kebanyakan, maka Jokowi dan para pejabat pemerintahannya yang mesti introspeksi diri. "Sudah banyak sebenarnya kritik yang dilayangkan. Apa belum cukup kritiknya selama ini?" kata Herzaky.
Lebih lanjut ia mengatakan, sekarang orang mulai khawatir ketika mengeluarkan pendapat. Sebab, UU ITE yang seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan transaksi elektronik, malah dijadikan alat gebuk untuk yang berbeda pendapat.
Diungkapkan dia, data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE, naik lebih dari tiga kali lipat di era pemerintahan Jokowi dibandingkan pemerintahan SBY.
"Dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019). Peningkatan tiga kali lipat ini luar biasa. Padahal, baru satu indikator ini yang kita gunakan," katanya.
"Ibarat kata, Pemerintahan Jokowi dan pemerintahan sebelumnya sama-sama dibekali tongkat. Bedanya, pemerintahan sekarang lebih rajin menggunakan tongkat itu buat menggebuk, bukan buat membantu orang jalan," ungkapnya.
Karena itulah, wajar jika publik skeptis merespons pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik. Selama ini, bukan masyarakat yang kurang aktif mengkritik, melainkan pemerintah yang seakan tak bisa menerima kritik. "Ada pandangan yang berkembang di publik, kalau sedikit kritik saja ke pemerintah, bakal langsung ditangkap. Dijerat dengan UU ITE. Gagal dengan UU ITE, digunakanlah aturan terkait COVID-19," katanya.
Karena itulah, sambung dia, sebaiknya pemerintah introspeksi diri jika meminta masyarakat aktif mengkritiknya. Bukan masyarakat tidak aktif mengkritik, melainkan pemerintah yang belum aktif mendengarkan. Aktifnya sementara ini terkesan baru dalam hal menangkap para pengkritiknya.
Dalam hal ini, presiden minimal lebih aktif mengingatkan dan menegur para pembantunya agar tidak menggunakan UU ITE untuk menggebuk yang berbeda pendapat.
Lihat Juga :
tulis komentar anda