Pegiat HAM Sebut SKB 3 Menteri soal Seragam Jamin Kemerdekaan Beragama
Selasa, 09 Februari 2021 - 22:37 WIB
JAKARTA - Setelah memperoleh dukungan dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah , keberadaan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri mengenai seragam dan atribut sekolah di sekolah negeri juga meraih dukungan dari para pegiat hak asasi manusia (HAM) dan pendidikan anak dari berbagai organisasi. Mereka menilai, keberadaan SKB turut menjamin kemerdekaan beragama dan menjalankan keyakinan seluruh insan pendidikan baik guru maupun siswa.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menyatakan, setiap orang berhak menjalankan ajaran agamanya. “Negara berkewajiban melindungi semua orang dari pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta harus menjunjung netralitas, bersikap adil dan menghindari konflik kepentingan pribadi,” kata Beka dalam keterangannya, Selasa (9/2/2021).
Dia menjelaskan, kebebasan beragama memuat beberapa prinsip utama seperti tidak boleh ada paksaan, dapat dilakukan sendiri atau bersama di tempat umum maupun tertutup, serta harus dilindungi. Keberadaan hukum yang disusun negara antara lain berfungsi memberikan perlindungan itu. Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menambahkan, negara perlu hadir untuk melakukan perlindungan terhadap anak. “Kami juga mengusulkan agar proses sosialisasi terhadap SKB 3 menteri terus dilakukan demi menghindari mispersepsi di lapangan,” kata Retno.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menilai SKB 3 menteri pada prinsipnya memberikan kemerdekaan pendidik dan siswa menjalankan perintah agama sesuai keyakinannya. SKB 3 menteri, kata dia, justru mendorong para pelajar merdeka menjalankan ajaran sesuai keyakinan mereka. Ia pun sepakat proses sosialisasi terhadap substansi SKB 3 menteri harus dilakukan demi mengurangi kesalahan informasi di lapangan. Menurutnya, sekolah negeri adalah area di mana masyarakat memahami nilai luhur kebhinekaan.
“SKB 3 menteri sudah tepat dan nilai toleransi perlu dikembangkan lebih luas di seluruh instansi pendidikan. Jangan sampai pemahaman yang salah membuat mereka mengelompokkan diri secara ekslusif dan tetap melanjutkan kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai kebhinekaan Indonesia,” tegas Ardi.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu dan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. Keduanya menilai sinergi dan penyelarasan sangat penting dan dibutuhkan untuk memastikan semua berjalan konsisten.
“Kami melakukan pertemuan dengan guru dan mengangkat sekolah kebinekaan. Kami juga mendukung untuk mengangkat narasi mereka sehingga kita semua menjadi agen yang bisa bersuara tentang kebhinekaan,” ungkap Henny.
Allisa menjelaskan, ada banyak lansekap keberagaman dalam ekosistem pendidikan seperti kasus pewajiban pakaian khusus keagamaan, pelarangan pakaian khusus keagamaan, kecenderungan favoritisme agama: beasiswa, fasilitas khusus, dan lainnya.
“Ada juga intimidasi serta tekanan sosial dalam ekosistem sekolah dan diskriminasi secara halus maupun terang,” kata dia. Oleh karenanya, selain keberadaan SKB 3 menteri, juga penting membangun perspektif bahwa sekolah negeri merupakan wakil negara. “Penting bagi guru memahami regulasi dan paham keagamaan yang tidak ekslusif apalagi ekstremis,” pungkas Allisa.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menyatakan, setiap orang berhak menjalankan ajaran agamanya. “Negara berkewajiban melindungi semua orang dari pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta harus menjunjung netralitas, bersikap adil dan menghindari konflik kepentingan pribadi,” kata Beka dalam keterangannya, Selasa (9/2/2021).
Dia menjelaskan, kebebasan beragama memuat beberapa prinsip utama seperti tidak boleh ada paksaan, dapat dilakukan sendiri atau bersama di tempat umum maupun tertutup, serta harus dilindungi. Keberadaan hukum yang disusun negara antara lain berfungsi memberikan perlindungan itu. Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menambahkan, negara perlu hadir untuk melakukan perlindungan terhadap anak. “Kami juga mengusulkan agar proses sosialisasi terhadap SKB 3 menteri terus dilakukan demi menghindari mispersepsi di lapangan,” kata Retno.
Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menilai SKB 3 menteri pada prinsipnya memberikan kemerdekaan pendidik dan siswa menjalankan perintah agama sesuai keyakinannya. SKB 3 menteri, kata dia, justru mendorong para pelajar merdeka menjalankan ajaran sesuai keyakinan mereka. Ia pun sepakat proses sosialisasi terhadap substansi SKB 3 menteri harus dilakukan demi mengurangi kesalahan informasi di lapangan. Menurutnya, sekolah negeri adalah area di mana masyarakat memahami nilai luhur kebhinekaan.
“SKB 3 menteri sudah tepat dan nilai toleransi perlu dikembangkan lebih luas di seluruh instansi pendidikan. Jangan sampai pemahaman yang salah membuat mereka mengelompokkan diri secara ekslusif dan tetap melanjutkan kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai kebhinekaan Indonesia,” tegas Ardi.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu dan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. Keduanya menilai sinergi dan penyelarasan sangat penting dan dibutuhkan untuk memastikan semua berjalan konsisten.
“Kami melakukan pertemuan dengan guru dan mengangkat sekolah kebinekaan. Kami juga mendukung untuk mengangkat narasi mereka sehingga kita semua menjadi agen yang bisa bersuara tentang kebhinekaan,” ungkap Henny.
Allisa menjelaskan, ada banyak lansekap keberagaman dalam ekosistem pendidikan seperti kasus pewajiban pakaian khusus keagamaan, pelarangan pakaian khusus keagamaan, kecenderungan favoritisme agama: beasiswa, fasilitas khusus, dan lainnya.
“Ada juga intimidasi serta tekanan sosial dalam ekosistem sekolah dan diskriminasi secara halus maupun terang,” kata dia. Oleh karenanya, selain keberadaan SKB 3 menteri, juga penting membangun perspektif bahwa sekolah negeri merupakan wakil negara. “Penting bagi guru memahami regulasi dan paham keagamaan yang tidak ekslusif apalagi ekstremis,” pungkas Allisa.
(mhd)
tulis komentar anda