Reformasi Belanja Daerah
Selasa, 02 Februari 2021 - 07:30 WIB
KEBIJAKAN desentralisasi fiskal di Indonesia melalui sistem transfer ke daerah telah berlangsung hampir dua dekade. Sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal, dana transfer ke daerah dan dana pusat yang mengalir ke daerah (termasuk Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan) meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun.
Kenaikan dana transfer ke daerah merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mengurangi ketimpangan, dan mendorong laju perekonomian. Data menunjukkan bahwa pada 2002 desentralisasi fiskal, transfer ke daerah berupa Dana Perimbangan hanya Rp94,7 triliun, namun pada 2014 Dana Perimbangan bertambah menjadi Rp487,9 triliun atau naik 415,2%.
Selanjutnya sejak 2015, transfer ke daerah berupa Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa dialokasikan sebesar Rp623,1 triliun dan terus mengalami peningkatan hingga tahun ini mencapai Rp795,5 triliun.
Selain sisi penerimaan pemerintah yang cukup besar, hal yang lebih krusial adalah bagaimana pemerintah (daerah) juga membelanjakan anggarannya. Apalagi, jika diperhatikan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini di dominasi oleh sektor belanja. Baik itu belanja pemerintah (pusat dan daerah) maupun belanja rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi lebih dari 50% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, kebijakan fiskal di Indonesia juga masih menjadi penyokong utama dalam pembangunan, termasuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di masa pandemi seperti saat ini.
Sayangnya, peran belanja pemerintah di Indonesia masih belum begitu besar. Kontribusinya tidak lebih dari 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Belum optimalnya peranan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bersumber dari masalah di sisi pendapatan dan belanja. Target-target penerimaan perpajakan, yang menjadi sumber utama pendapatan negara, tidak terealisasi maksimal, bahkan cenderung melambat.
Di sisi lain, struktur belanja pemerintah masih didominasi belanja rutin, yang tidak produktif. Belanja untuk stimulus perekonomian, terutama belanja modal, mulai meningkat, namun belum cukup memenuhi kebutuhan perekonomian untuk tumbuh tinggi.
Sementara itu, realisasi belanja modal relatif rendah, baik di pusat maupun di daerah. Sejatinya, belanja yang sehat adalah belanja yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sebaliknya, belanja yang kurang baik adalah belanja yang menyebabkan kebocoran pada perekonomian (leakages), termasuk di dalamnya belanja untuk kepentingan birokrasi atau belanja yang tidak mampu menarik (attractive) investasi.
Kenaikan dana transfer ke daerah merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mengurangi ketimpangan, dan mendorong laju perekonomian. Data menunjukkan bahwa pada 2002 desentralisasi fiskal, transfer ke daerah berupa Dana Perimbangan hanya Rp94,7 triliun, namun pada 2014 Dana Perimbangan bertambah menjadi Rp487,9 triliun atau naik 415,2%.
Selanjutnya sejak 2015, transfer ke daerah berupa Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa dialokasikan sebesar Rp623,1 triliun dan terus mengalami peningkatan hingga tahun ini mencapai Rp795,5 triliun.
Selain sisi penerimaan pemerintah yang cukup besar, hal yang lebih krusial adalah bagaimana pemerintah (daerah) juga membelanjakan anggarannya. Apalagi, jika diperhatikan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini di dominasi oleh sektor belanja. Baik itu belanja pemerintah (pusat dan daerah) maupun belanja rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi lebih dari 50% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, kebijakan fiskal di Indonesia juga masih menjadi penyokong utama dalam pembangunan, termasuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di masa pandemi seperti saat ini.
Sayangnya, peran belanja pemerintah di Indonesia masih belum begitu besar. Kontribusinya tidak lebih dari 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Belum optimalnya peranan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bersumber dari masalah di sisi pendapatan dan belanja. Target-target penerimaan perpajakan, yang menjadi sumber utama pendapatan negara, tidak terealisasi maksimal, bahkan cenderung melambat.
Di sisi lain, struktur belanja pemerintah masih didominasi belanja rutin, yang tidak produktif. Belanja untuk stimulus perekonomian, terutama belanja modal, mulai meningkat, namun belum cukup memenuhi kebutuhan perekonomian untuk tumbuh tinggi.
Sementara itu, realisasi belanja modal relatif rendah, baik di pusat maupun di daerah. Sejatinya, belanja yang sehat adalah belanja yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sebaliknya, belanja yang kurang baik adalah belanja yang menyebabkan kebocoran pada perekonomian (leakages), termasuk di dalamnya belanja untuk kepentingan birokrasi atau belanja yang tidak mampu menarik (attractive) investasi.
tulis komentar anda