Pakar Hukum Anggap Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020 Jeblok
Kamis, 28 Januari 2021 - 21:29 WIB
JAKARTA - Pakar hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI), Jentera Bivitri Susanti menilai skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 menjadi 37 dari skor 40 pada 2019 merupakan penurunan yang jeblok.
Bivitri Susanti menyatakan, dia langsung terpikirkan tentang KPK dan kinerja KPK serta pemerintah setelah melihat hasil survei atas Corruption Perception Index ( CPI ) atau IPK 2020, termasuk untuk Indonesia yang disodorkan Transparency International Indonesia (TII) ke Bivitri.
Tapi Bivitri tidak mau mengatakan bahwa capaian KPK maupun pemerintah dalam pemberantasan korupsi buruk atau baik. Pasalnya, menurut dia, hasil survei CPI serta skor 37 CPI Indonesia pada 2020 harus dilihat secara keseluruhan dan kemudian dimaknai. Apalagi, tutur dia, skor CPI Indonesia 2020 diukur berdasarkan 9 indikator.
"Dalam konteks nasional, pertanyaan besarnya sih mengapa CPI Indonesia itu turun. Turunnya jeblok ya saya katakan, ini sangat fantastis perubahannya, mengejutkan. Mengejutkan dari sisi angka. Walaupun saya kira banyak dari kita yang sudah menduga," kata Bivitri saat memberikan tanggapan dalam konferensi pers peluncuran CPI 2020 secara virtual, di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini berpandangan, CPI Indonesia turun skor 37 pada 2020 dari skor 40 pada 2019 karena korupsi bukan sekadar terkait dengan penindakan dan pencegahan korupsi maupun terkait dengan kekuasaan. Dia menilai, korupsi sebenarnya juga bukan sekadar terkait dengan pemberantasan korupsi maupun bukan semata dilihat berdasarkan kerja-kerja KPK.
Menurut Bivitri, korupsi berkaitan dengan proses pemberantasan korupsi, lembaga penegak hukum secara umum, pelaporan dan kritik, hingga peran dari lembaga-lembaga politik dan partai politik. Dalam konteks pelaporan dan kritik terkait dengan korupsi, maka butuh peran dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupuan media massa. Peran LSM maupun media massa dibutuhkan agar proses penegakan hukum pemberantasan korupsi berjalan dengan baik sesuai dengan koridor hukum.
"Berikutnya kita harus melihat juga produk hukum yang ada. Apakah produk hukum itu membuka peluang korupsi atau menutup peluang yang ada," ungkap Bivitri.
Bivitri Susanti menyatakan, dia langsung terpikirkan tentang KPK dan kinerja KPK serta pemerintah setelah melihat hasil survei atas Corruption Perception Index ( CPI ) atau IPK 2020, termasuk untuk Indonesia yang disodorkan Transparency International Indonesia (TII) ke Bivitri.
Tapi Bivitri tidak mau mengatakan bahwa capaian KPK maupun pemerintah dalam pemberantasan korupsi buruk atau baik. Pasalnya, menurut dia, hasil survei CPI serta skor 37 CPI Indonesia pada 2020 harus dilihat secara keseluruhan dan kemudian dimaknai. Apalagi, tutur dia, skor CPI Indonesia 2020 diukur berdasarkan 9 indikator.
"Dalam konteks nasional, pertanyaan besarnya sih mengapa CPI Indonesia itu turun. Turunnya jeblok ya saya katakan, ini sangat fantastis perubahannya, mengejutkan. Mengejutkan dari sisi angka. Walaupun saya kira banyak dari kita yang sudah menduga," kata Bivitri saat memberikan tanggapan dalam konferensi pers peluncuran CPI 2020 secara virtual, di Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini berpandangan, CPI Indonesia turun skor 37 pada 2020 dari skor 40 pada 2019 karena korupsi bukan sekadar terkait dengan penindakan dan pencegahan korupsi maupun terkait dengan kekuasaan. Dia menilai, korupsi sebenarnya juga bukan sekadar terkait dengan pemberantasan korupsi maupun bukan semata dilihat berdasarkan kerja-kerja KPK.
Menurut Bivitri, korupsi berkaitan dengan proses pemberantasan korupsi, lembaga penegak hukum secara umum, pelaporan dan kritik, hingga peran dari lembaga-lembaga politik dan partai politik. Dalam konteks pelaporan dan kritik terkait dengan korupsi, maka butuh peran dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupuan media massa. Peran LSM maupun media massa dibutuhkan agar proses penegakan hukum pemberantasan korupsi berjalan dengan baik sesuai dengan koridor hukum.
"Berikutnya kita harus melihat juga produk hukum yang ada. Apakah produk hukum itu membuka peluang korupsi atau menutup peluang yang ada," ungkap Bivitri.
(abd)
tulis komentar anda