JPPR Anggap Sanksi Pemberhentian Ketua KPU Arief Budiman Terlalu Berlebihan
Kamis, 14 Januari 2021 - 10:01 WIB
JAKARTA - Sanksi pemberhentian Arief Budiman dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terus menuai kritikan. Kali ini, kritikan dari Deputi Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Muhammad Hanif.
Hanif menjelaskan bahwa hukum dan etik itu adalah dua hal yang berbeda. Secara historis, kata Hanif, gagasan hukum lebih dulu menguat dibandingkan gagasan etik. Dia pun mengingatkan bahwa Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, bukan negara berdasarkan etik.
Baca Juga: Pencopotan Ketua KPU Imbas Batasan Final dan Mengikat Putusan DKPP Tidak Jelas
"Meskipun dalam perkembangannya hukum mengakui keberadaan etik untuk membantu mewujudkan tujuan hukum keadilan, ketertiban dan lainnya," ujar Muhammad Hanif kepada SINDOnews, Kamis (14/1/2021).
Secara positif, lanjut dia, hukum lebih kuat dari pada etik. Contohnya, sambung dia, negara totaliter yang berdasarkan hukum akan tetap dianggap bermoral. "Sehingga etik harus taat pada hukum. Selain sebagai penunjang, status etik akan mengikuti kondisi hukum," imbuhnya.
Dia melanjutkan, DKPP setidaknya patuh terhadap lembaga peradilan, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). MA termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan MK adalah lembaga negara utama.
Sedangkan, kata dia, DKPP hanya lembaga negara penunjang. "Kemarin Arif Budiman sedang menjalankan keputusan hukum. Di sisi lain DKPP bicara etik, bukan hukum. Meskipun secara kacamata etik DKPP telah dibatalkan oleh hukum. Tapi dalam kerangka konstitusi, kekuasaan hukum lebih tinggi dari etik," ungkapnya.
Karena, menurut dia, kekuasaan kehakiman mengadili hanya MA termasuk PTUN dan MK di UUD 1945. "Jadi, kalau lihat dari sini, DKPP melihat apa yang dilakukan oleh Arief Budiman melanggar kode etik, tapi secara hukum bisa dibilang Arief Budiman sedang menjalankan keputusan terkait kasus Evi. Tapi kalau lihat dari putusan DKPP. Bisa aja memang Arief Budiman melanggar etik, tapi dianggap melanggar etik berat rasanya terlalu berlebihan, jadi saya masih merenung juga, Mas," pungkasnya dengan emoticon tertawa.
Hanif menjelaskan bahwa hukum dan etik itu adalah dua hal yang berbeda. Secara historis, kata Hanif, gagasan hukum lebih dulu menguat dibandingkan gagasan etik. Dia pun mengingatkan bahwa Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, bukan negara berdasarkan etik.
Baca Juga: Pencopotan Ketua KPU Imbas Batasan Final dan Mengikat Putusan DKPP Tidak Jelas
"Meskipun dalam perkembangannya hukum mengakui keberadaan etik untuk membantu mewujudkan tujuan hukum keadilan, ketertiban dan lainnya," ujar Muhammad Hanif kepada SINDOnews, Kamis (14/1/2021).
Secara positif, lanjut dia, hukum lebih kuat dari pada etik. Contohnya, sambung dia, negara totaliter yang berdasarkan hukum akan tetap dianggap bermoral. "Sehingga etik harus taat pada hukum. Selain sebagai penunjang, status etik akan mengikuti kondisi hukum," imbuhnya.
Dia melanjutkan, DKPP setidaknya patuh terhadap lembaga peradilan, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). MA termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan MK adalah lembaga negara utama.
Sedangkan, kata dia, DKPP hanya lembaga negara penunjang. "Kemarin Arif Budiman sedang menjalankan keputusan hukum. Di sisi lain DKPP bicara etik, bukan hukum. Meskipun secara kacamata etik DKPP telah dibatalkan oleh hukum. Tapi dalam kerangka konstitusi, kekuasaan hukum lebih tinggi dari etik," ungkapnya.
Karena, menurut dia, kekuasaan kehakiman mengadili hanya MA termasuk PTUN dan MK di UUD 1945. "Jadi, kalau lihat dari sini, DKPP melihat apa yang dilakukan oleh Arief Budiman melanggar kode etik, tapi secara hukum bisa dibilang Arief Budiman sedang menjalankan keputusan terkait kasus Evi. Tapi kalau lihat dari putusan DKPP. Bisa aja memang Arief Budiman melanggar etik, tapi dianggap melanggar etik berat rasanya terlalu berlebihan, jadi saya masih merenung juga, Mas," pungkasnya dengan emoticon tertawa.
(zik)
tulis komentar anda