Catatan HAM 2020, PKS: Ada Represi Digital untuk Membungkam Suara Kritis
Senin, 28 Desember 2020 - 10:55 WIB
JAKARTA - Tahun 2020 akan segera berakhir. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan sejumlah catatan terhadap jalannya Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan pemerintah sebaiknya melihat kondisi penanganan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. “Sejak Januari 2020, ruang publik kita diwarnai tindakan represif aparat dan penegakan HAM yang buruk. Tidak terlihat komitmen kuat dari Pak Jokowi untuk HAM,” ujarnya, melalui akun twitter @MardaniAliSera, Senin (28/12/2020). (Baca juga: Sepakat dengan KontraS, Fadli Zon: Peristiwa 6 Anggota FPI Tewas Langgar HAM)
Dia menyebutkan pada tahun ini, masyarakat mulai mengalami dan mengenal bentuk represi yang mengerikan, yakni digital. Banyak aktivis yang disadap dan diretas. “Tujuannya untuk membungkam suara kritis. Belum lagi penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menekan lawan politik. Banyak dari mereka yang berujung jeruji,” tutur lulusan Universitas Indonesia (UI) itu. (Baca juga: Pajang 7 Penghargaan, Anies: Jakarta Kembali Diakui sebagai Kota Peduli HAM)
Mardani mendorong adanya evaluasi terhadap UU ITE karena telah melahirkan unintended consequences. “(UU ITE) Awalnya hanya diperuntukkan menjadi payung hukum atas transaksi bisnis di dunia maya. Namun, (kini) diperuntukkan untuk menerkam lawan politik,” jelasnya.
Dia menjabarkan sejumlah fenomena yang diduga sebagai upaya untuk membungkam kritik terhadap pemerintah, seperti penangkapan aktivis saat unjuk rasa dan kekerasan masyarakat sipil di Papua. Kemudian, kasus Semanggi I dan II yang belakangan dinyatakan bukan pelanggaran HAM berat. Belakangan, masyarakat menuntut keterbukaan dan penyelesaian penembakan 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
“Hal ini ini jika terus dipendam dan tidak segera dituntaskan, akan menjadi bom waktu yang justru membahayakan keutuhan kita ke depan. Masyarakat pun semakin takut menyuarakan pendapat di ruang publik. Seperti tertera dalam rilis survei Indikator Politik Oktober lalu,” katanya.
Dari hasil survei tersebut, 47,7% responden yang setuju dan 21,9% yang sangat setuju makin takut menyuarakan pendapat di ruang publik. Jika ditotal, ada 79,6% publik yang merasakan itu. “Memasuki 2021, semoga pemerintah memikirkan cara-cara yang persuasif dalam memperlakukan lawan politik dan menuntaskan kasus HAM. Semoga komitmen dalam penanganan HAM dan Demokrasi terlihat di tahun 2021,” katanya.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan pemerintah sebaiknya melihat kondisi penanganan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. “Sejak Januari 2020, ruang publik kita diwarnai tindakan represif aparat dan penegakan HAM yang buruk. Tidak terlihat komitmen kuat dari Pak Jokowi untuk HAM,” ujarnya, melalui akun twitter @MardaniAliSera, Senin (28/12/2020). (Baca juga: Sepakat dengan KontraS, Fadli Zon: Peristiwa 6 Anggota FPI Tewas Langgar HAM)
Dia menyebutkan pada tahun ini, masyarakat mulai mengalami dan mengenal bentuk represi yang mengerikan, yakni digital. Banyak aktivis yang disadap dan diretas. “Tujuannya untuk membungkam suara kritis. Belum lagi penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menekan lawan politik. Banyak dari mereka yang berujung jeruji,” tutur lulusan Universitas Indonesia (UI) itu. (Baca juga: Pajang 7 Penghargaan, Anies: Jakarta Kembali Diakui sebagai Kota Peduli HAM)
Mardani mendorong adanya evaluasi terhadap UU ITE karena telah melahirkan unintended consequences. “(UU ITE) Awalnya hanya diperuntukkan menjadi payung hukum atas transaksi bisnis di dunia maya. Namun, (kini) diperuntukkan untuk menerkam lawan politik,” jelasnya.
Dia menjabarkan sejumlah fenomena yang diduga sebagai upaya untuk membungkam kritik terhadap pemerintah, seperti penangkapan aktivis saat unjuk rasa dan kekerasan masyarakat sipil di Papua. Kemudian, kasus Semanggi I dan II yang belakangan dinyatakan bukan pelanggaran HAM berat. Belakangan, masyarakat menuntut keterbukaan dan penyelesaian penembakan 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
“Hal ini ini jika terus dipendam dan tidak segera dituntaskan, akan menjadi bom waktu yang justru membahayakan keutuhan kita ke depan. Masyarakat pun semakin takut menyuarakan pendapat di ruang publik. Seperti tertera dalam rilis survei Indikator Politik Oktober lalu,” katanya.
Dari hasil survei tersebut, 47,7% responden yang setuju dan 21,9% yang sangat setuju makin takut menyuarakan pendapat di ruang publik. Jika ditotal, ada 79,6% publik yang merasakan itu. “Memasuki 2021, semoga pemerintah memikirkan cara-cara yang persuasif dalam memperlakukan lawan politik dan menuntaskan kasus HAM. Semoga komitmen dalam penanganan HAM dan Demokrasi terlihat di tahun 2021,” katanya.
(cip)
tulis komentar anda