Hoaks Pilkada Bisa Bersifat Lokal dan Menyebar lewat Mulut
Senin, 07 Desember 2020 - 04:34 WIB
JAKARTA - Hoaks atau berita bohong pada Pilkada 2020 memang tidak semasif Pemilu Legislatif (Pileg) atau Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Namun, hoaks di Pilkada sangat berbasis lokal dan penyebarannya bukan hanya media digital, tapi mulut ke mulut.
“Pilkada 2020, para penyelenggara pemillu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sudah sadar betul, hoaks jadi salah satu parameter pengukur indeks kerawanan pemilu, Bawaslu sadar bahwa ini jadi ancaman,” kata Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, saat peluncuran MoU KPU dan AMSI tentang Cek Fakta Pilkada sekaligus webinar yang bertajuk “Kick Off Cek Fakta Pilkada: Kolaborasi Media dan Multistakeholder Menekan Peredaran Mis-Disinformasi Masa Pilkada 2020”, Minggu (6/12/2020).
Anita menjelaskan, melihat konsolidasinya, pilkada memang tidak sama dengan pilpres, konsolidasi pilpres tentu terpusat. Dan perlu diketahui bahwa penyebaran hoaks itu butuh biaya, ada orang-orang yang diperlukan untuk menciptakan informasi tertentu, menyebarkan hoaks, profiling orang tertentu untuk jadi sasaran hoaks, dan itu semua butuh biaya.
“Dampaknya mungkin tingkat hoaksya tidak semengerikan pilpres atau provinsi yg potensi penentu di pilpres 2024,” imbuhnya. (Baca juga: Ancaman Tidak Hanya Covid-19, Sri Mulyani: Tapi Juga Informasi Sesat)
Kabar baiknya, sambung Anita, kesadaran masyarakat sangat tinggi akan hoaks ini, sehingga semua orang ingin terlibat dalam permasalahan ini. Tapi, ada juga beberapa kabar buruknya. Pertama, semua hoaks masa pilkada akan sangat berbasis lokal, konteksnya lokal, dialegnya dan bahasanya lokal, sehingga kebutuhan memeriksa faktanya jauh lebih besar kalau dibawa ke nasional. Misalnya, belum tentu Mafindo bisa mengecek fakta di Makassar karena terlalu lokal.
Kedua, serangan hoaks bukan hanya serangan antarkandidat, tapi menyerang penyelenggara dan pelaksanaan pemilu. Mafindo pada pilpres lalu melihat bahwa jumlah hoaks yang menyerang tinggi. Dan pada pilkada, kemungkinan penyelenggara pemilu akan diserang soal ini. Ketiga, selalu ada potensi distribusi hoaks dari mulut ke mulut.
“Kita tidak bisa melihat percakapan di dunia offline, yang mereka baca di dunia digital tapi dipercaya di dunia offline. Hoaks yang tidak populer bukan berarti tidak berbahaya,” tegasnya. (Baca juga: Ketua DPRD DKI: Kenaikan Gaji dan Tunjangan Anggota DPRD DKI Hoaks)
Karena itu, Anita menyarankan sejumlah hal kepada penyelenggara pemilu. Yakni, selalu lakukan digital listening, mencari informasi dan Mafindo yang akan lakukan pengecekan. Kemudian, lakukan social listening seperti di pasar, di terminal dan tempat umum lainnya. Karena, ini yang akan mendorong perubahan perilaku masyarakat, dan bukan selalu di sosial media (sosmed), tapi percayakan sehari-hari.
Selanjutnya, kata Anita, tree buckling, menelaah apa saja yang akan dijadikan bahan hoaks. Kolaborasi juga penting dilakukan, karena yang banyak dikeluhkan penyelenggara pilkada di daerah adalah keterbatasan SDM dan ini zamannya kolaborasi.
Menurutnya, banyak anak-anak muda yang bisa diajak, dan tidak harus dibayar. Mungkin hanya sekedar uang makan saja, karena mereka punya keinginan untuk berkotribusi di hidup mereka. “Kalau jurnalis di daerah kita paham betapa pentingnya, kita butuh pihak lain yang perlu direkrut,” imbuh Anita.
Terakhir, amplifikasi. Jangan terbiasa menunggu sebuah hoaks viral baru diklarifikasi dan debunk (dikounter). Caranya, penyelenggara pemilu di tiap wilayah menjalin networking dengan kelompok jurnalis, tokoh agama, tokoh masyarakat dan kelompo ibu PKK.
“Sehingga, hoaks muncul langsung debunk dengan sengaja sebelum menimbulkan kekacauan, ini preventifnya jangana sampai tunggu viral nggak bisa dikeluarkan debunk,” pungkasnya.
“Pilkada 2020, para penyelenggara pemillu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sudah sadar betul, hoaks jadi salah satu parameter pengukur indeks kerawanan pemilu, Bawaslu sadar bahwa ini jadi ancaman,” kata Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, saat peluncuran MoU KPU dan AMSI tentang Cek Fakta Pilkada sekaligus webinar yang bertajuk “Kick Off Cek Fakta Pilkada: Kolaborasi Media dan Multistakeholder Menekan Peredaran Mis-Disinformasi Masa Pilkada 2020”, Minggu (6/12/2020).
Anita menjelaskan, melihat konsolidasinya, pilkada memang tidak sama dengan pilpres, konsolidasi pilpres tentu terpusat. Dan perlu diketahui bahwa penyebaran hoaks itu butuh biaya, ada orang-orang yang diperlukan untuk menciptakan informasi tertentu, menyebarkan hoaks, profiling orang tertentu untuk jadi sasaran hoaks, dan itu semua butuh biaya.
“Dampaknya mungkin tingkat hoaksya tidak semengerikan pilpres atau provinsi yg potensi penentu di pilpres 2024,” imbuhnya. (Baca juga: Ancaman Tidak Hanya Covid-19, Sri Mulyani: Tapi Juga Informasi Sesat)
Kabar baiknya, sambung Anita, kesadaran masyarakat sangat tinggi akan hoaks ini, sehingga semua orang ingin terlibat dalam permasalahan ini. Tapi, ada juga beberapa kabar buruknya. Pertama, semua hoaks masa pilkada akan sangat berbasis lokal, konteksnya lokal, dialegnya dan bahasanya lokal, sehingga kebutuhan memeriksa faktanya jauh lebih besar kalau dibawa ke nasional. Misalnya, belum tentu Mafindo bisa mengecek fakta di Makassar karena terlalu lokal.
Kedua, serangan hoaks bukan hanya serangan antarkandidat, tapi menyerang penyelenggara dan pelaksanaan pemilu. Mafindo pada pilpres lalu melihat bahwa jumlah hoaks yang menyerang tinggi. Dan pada pilkada, kemungkinan penyelenggara pemilu akan diserang soal ini. Ketiga, selalu ada potensi distribusi hoaks dari mulut ke mulut.
“Kita tidak bisa melihat percakapan di dunia offline, yang mereka baca di dunia digital tapi dipercaya di dunia offline. Hoaks yang tidak populer bukan berarti tidak berbahaya,” tegasnya. (Baca juga: Ketua DPRD DKI: Kenaikan Gaji dan Tunjangan Anggota DPRD DKI Hoaks)
Karena itu, Anita menyarankan sejumlah hal kepada penyelenggara pemilu. Yakni, selalu lakukan digital listening, mencari informasi dan Mafindo yang akan lakukan pengecekan. Kemudian, lakukan social listening seperti di pasar, di terminal dan tempat umum lainnya. Karena, ini yang akan mendorong perubahan perilaku masyarakat, dan bukan selalu di sosial media (sosmed), tapi percayakan sehari-hari.
Selanjutnya, kata Anita, tree buckling, menelaah apa saja yang akan dijadikan bahan hoaks. Kolaborasi juga penting dilakukan, karena yang banyak dikeluhkan penyelenggara pilkada di daerah adalah keterbatasan SDM dan ini zamannya kolaborasi.
Menurutnya, banyak anak-anak muda yang bisa diajak, dan tidak harus dibayar. Mungkin hanya sekedar uang makan saja, karena mereka punya keinginan untuk berkotribusi di hidup mereka. “Kalau jurnalis di daerah kita paham betapa pentingnya, kita butuh pihak lain yang perlu direkrut,” imbuh Anita.
Terakhir, amplifikasi. Jangan terbiasa menunggu sebuah hoaks viral baru diklarifikasi dan debunk (dikounter). Caranya, penyelenggara pemilu di tiap wilayah menjalin networking dengan kelompok jurnalis, tokoh agama, tokoh masyarakat dan kelompo ibu PKK.
“Sehingga, hoaks muncul langsung debunk dengan sengaja sebelum menimbulkan kekacauan, ini preventifnya jangana sampai tunggu viral nggak bisa dikeluarkan debunk,” pungkasnya.
(thm)
tulis komentar anda