Sembilan Bulan Pandemi, Inkonsistensi Pemerintah hingga Lemahnya Penegakan Hukum
Selasa, 01 Desember 2020 - 14:19 WIB
JAKARTA - Indonesia belum juga bisa mengendalikan penularan virus Sars Cov-II . Pemerintah dinilai inkonsisten dalam menjalankan kebijakan.
Pandemi COVID-19 sudah sembilan bulan melanda Indonesia sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kasus pertama pada awal Maret lalu. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda penyebaran virus ini menurun. (Baca juga: Epidemiolog UI Nilai Indonesia Tidak Mau Belajar dari Keberhasilan Negara Lain)
Padahal, beberapa negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam, sudah bisa mengendalikan. Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah memaparkan beberapa permasalahan yang menyebabkan jumlah kasus positif semakin meningkat.
Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, jumlah orang yang positif COVID-19 mencapai 538.883. Jumlah orang yang sembuh sebanyak 450.518 dan meninggal dunia 16.945 orang.
Permasalahan pertama, menurutnya, regulasi yang ada seperti Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah lemah dari sisi sanksi. Trubus mengatakan seharusnya sejak awal dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk UU tersebut.
“Bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau protokol kesehatan bisa mendapatkan sanksi yang lebih berat. Kalau perlu dikurung 3 atau 6 tahun. Mereka yang bandel dan membangkang bisa dikenai sanksi yang lebih tegas,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (1/12/2020).
Dosen Universitas Trisakti itu mengungkapkan masalah berikutnya adalah penegakan atau pembubaran kerumunan sangat lemah. Ada banyak momen yang mempertunjukkan kerumunan besar, seperti demonstrasi, acara masyarakat, hingga libur panjang. (Baca juga:Gawat! 86 Desa di Kabupaten Bekasi Kembali Zona Merah Covid-19)
“Itu diciptakan sendiri oleh pemerintah. Ini mau ada pemilihan kepala daerah 9 Desember, siapa yang jamin kalau tidak ada horor COVID-19. Belum lagi libur Nataru. Ini sudah jelas (potensi kerumunan dan penularan),” pungkasnya.
Pandemi COVID-19 sudah sembilan bulan melanda Indonesia sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kasus pertama pada awal Maret lalu. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda penyebaran virus ini menurun. (Baca juga: Epidemiolog UI Nilai Indonesia Tidak Mau Belajar dari Keberhasilan Negara Lain)
Padahal, beberapa negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam, sudah bisa mengendalikan. Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah memaparkan beberapa permasalahan yang menyebabkan jumlah kasus positif semakin meningkat.
Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, jumlah orang yang positif COVID-19 mencapai 538.883. Jumlah orang yang sembuh sebanyak 450.518 dan meninggal dunia 16.945 orang.
Permasalahan pertama, menurutnya, regulasi yang ada seperti Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Wilayah lemah dari sisi sanksi. Trubus mengatakan seharusnya sejak awal dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk UU tersebut.
“Bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau protokol kesehatan bisa mendapatkan sanksi yang lebih berat. Kalau perlu dikurung 3 atau 6 tahun. Mereka yang bandel dan membangkang bisa dikenai sanksi yang lebih tegas,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (1/12/2020).
Dosen Universitas Trisakti itu mengungkapkan masalah berikutnya adalah penegakan atau pembubaran kerumunan sangat lemah. Ada banyak momen yang mempertunjukkan kerumunan besar, seperti demonstrasi, acara masyarakat, hingga libur panjang. (Baca juga:Gawat! 86 Desa di Kabupaten Bekasi Kembali Zona Merah Covid-19)
“Itu diciptakan sendiri oleh pemerintah. Ini mau ada pemilihan kepala daerah 9 Desember, siapa yang jamin kalau tidak ada horor COVID-19. Belum lagi libur Nataru. Ini sudah jelas (potensi kerumunan dan penularan),” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda