Hanya Butuh 9 Bulan, Covid Menginfeksi Setengah Juta Warga Indonesia
Selasa, 24 November 2020 - 10:07 WIB
JAKARTA - Hari ini kasus positif Covid-19 di Tanah Air sudah menembus angka 502.110 kasus. Hanya perlu waktu sembilan bulan virus Corona telah menginfeksi lebih setengah juta warga Indonesia, pascakasus pertama di Depok diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal Maret 2020.
Terlewatinya angka psikologis 500.000 ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa virus yang sudah membunuh lebih 1 juta orang di seluruh dunia ini belum berlalu dan masih terus mengancam. Semua pihak, terutama pemerintah perlu kembali melihat ke belakang, apakah langkah penanganan yang diambil selama ini sudah berjalan baik dan tepat? Jika sudah berada di rel yang benar, hal apa saja yang masih perlu diperbaiki agar bangsa ini bisa segera keluar dari situasi sulit akibat pandemi?
Pemerintah tentu sudah berbuat banyak dalam menangani dampak pandemi ini, baik di bidang kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Namun, jalan untuk keluar dari situasi sulit masih sangat terjal. Masih banyak tantangan yang harus dilalui.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Kamaluddin Latief mengatakan, salah satu persoalan utama yang menghambat penanganan Covid-19 di Tanah Air adalah soal data. Data masih sering bervarisi. Padahal, akurasi data sangat penting karena itu akan menentukan begaimana cara penanganan.
Kemampuan pemerintah mendeteksi orang yang terjangkit virus dinilai masih perlu diperbaiki. “Saya 15 tahun mengelola data kesehatan, pernah menangani kasus flu burung pada 2006 hingga 2009. Masalah kita sejak dulu itu data yang bervariasi, banyak hilang,” ujarnya kepada SINDONews, Senin 23 November 2020.( )
Kemampuan Indonesia melakukan tes disebutnya juga masih perlu diperbaiki. Jumlah tes masih di bawah indikator WHO yang mensyaratkan konsisten di atas 1/1000 penduduk per minggu. “Kita harusnya selalu di atas 38.000 per hari dan mempertimbangkan kontribusi wilayah. Selama ini hanya tes DKI yang tinggi, angkanya di atas standar WHO,” katanya.
Karena pengetesan minim, Kamaluddin menyangsikan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia hanya 500.000. “Saya menduga itu bukan angka sebenarnya. Jumlah setengah juta itu kecil, bisa jauh lebih besar. Saya tidak bisa pastikan selisihnya, tapi itu jauh dari kenyataan di lapangan,” katanya.( )
Kamaluddin menyebut, pemerintah sejauh ini belum punya cara kerja atau sistem yang bersifat hulu, masih lebih banyak di hilir. Dia mencontohkan sistem yang disebutnya belum berjalan baik itu.
“Misalnya ketika ada pelaporan dari sistem surveillance bahwa ada orang yang positif. Pasti kan dilacak dengan siapa dia kontak, di-tracing, lalu dilakukan tes. Namun, banyak penolakan di lapangan. Orang takut dites. Mengapa ada yang menolak? Karena di lapangan kita belum punya sistem bagus,” paparnya.
Terlewatinya angka psikologis 500.000 ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak bahwa virus yang sudah membunuh lebih 1 juta orang di seluruh dunia ini belum berlalu dan masih terus mengancam. Semua pihak, terutama pemerintah perlu kembali melihat ke belakang, apakah langkah penanganan yang diambil selama ini sudah berjalan baik dan tepat? Jika sudah berada di rel yang benar, hal apa saja yang masih perlu diperbaiki agar bangsa ini bisa segera keluar dari situasi sulit akibat pandemi?
Pemerintah tentu sudah berbuat banyak dalam menangani dampak pandemi ini, baik di bidang kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Namun, jalan untuk keluar dari situasi sulit masih sangat terjal. Masih banyak tantangan yang harus dilalui.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Kamaluddin Latief mengatakan, salah satu persoalan utama yang menghambat penanganan Covid-19 di Tanah Air adalah soal data. Data masih sering bervarisi. Padahal, akurasi data sangat penting karena itu akan menentukan begaimana cara penanganan.
Kemampuan pemerintah mendeteksi orang yang terjangkit virus dinilai masih perlu diperbaiki. “Saya 15 tahun mengelola data kesehatan, pernah menangani kasus flu burung pada 2006 hingga 2009. Masalah kita sejak dulu itu data yang bervariasi, banyak hilang,” ujarnya kepada SINDONews, Senin 23 November 2020.( )
Kemampuan Indonesia melakukan tes disebutnya juga masih perlu diperbaiki. Jumlah tes masih di bawah indikator WHO yang mensyaratkan konsisten di atas 1/1000 penduduk per minggu. “Kita harusnya selalu di atas 38.000 per hari dan mempertimbangkan kontribusi wilayah. Selama ini hanya tes DKI yang tinggi, angkanya di atas standar WHO,” katanya.
Karena pengetesan minim, Kamaluddin menyangsikan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia hanya 500.000. “Saya menduga itu bukan angka sebenarnya. Jumlah setengah juta itu kecil, bisa jauh lebih besar. Saya tidak bisa pastikan selisihnya, tapi itu jauh dari kenyataan di lapangan,” katanya.( )
Kamaluddin menyebut, pemerintah sejauh ini belum punya cara kerja atau sistem yang bersifat hulu, masih lebih banyak di hilir. Dia mencontohkan sistem yang disebutnya belum berjalan baik itu.
“Misalnya ketika ada pelaporan dari sistem surveillance bahwa ada orang yang positif. Pasti kan dilacak dengan siapa dia kontak, di-tracing, lalu dilakukan tes. Namun, banyak penolakan di lapangan. Orang takut dites. Mengapa ada yang menolak? Karena di lapangan kita belum punya sistem bagus,” paparnya.
tulis komentar anda