Membangkitkan Kepahlawanan Publik
Rabu, 11 November 2020 - 05:30 WIB
Jika pandangan ini diterima, kita perlu menggali lebih jauh: mengapa hal demikian itu dapat terjadi? Apakah sebagai bangsa kita belum cukup menciptakan ruang pembelajaran yang sedemikian rupa sehingga jiwa kepahlawanan dapat bersemai dalam setiap pribadi Indonesia? Apakah letak masalah pada ketersediaan ruang pembelajaran ataukah pada metode pembelajaran dan ekosistem belajarnya? Konsep pembelajaran yang dimaksudkan di sini merupakan konsep yang lebih luas. Bahkan proses rekrutmen politik, yakni proses mendapatkan figur yang akan menempati jabatan publik, dapat pula dipandang sebagai bagian dari proses pembelajaran. Secara lebih umum kita hendak mengatakan bahwa keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara sesungguhnya merupakan ruang pembelajaran yang daripadanya seharusnya lahir jiwa kepahlawanan pada diri setiap manusia Indonesia.
Apabila pengertian tersebut dapat digunakan, dapat dirumuskan secara lebih sederhana bahwa keseluruhan proses kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan rahim bagi pribadi Indonesia, yakni pribadi yang pada dirinya bersemayam jiwa kepahlawanan. Dengan cara pandang itu kita akan dapat melihat beberapa arena sekaligus. Pertama, dalam kenyataan, selama beberapa dekade ini, sebagai bangsa kita menjumpai demikian banyak masalah hukum yang menimpa para pejabat publik, mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif. Di luar itu catatan hukum juga memperlihatkan dijumpainya masalah-masalah hukum yang mencerminkan tidak atau belum bekerjanya jiwa kepahlawanan sebagaimana yang (telah) ditunjukkan dengan terjadinya problem-problem yang tidak kita inginkan terjadi di alam kemerdekaan. Mengapa perpindahan dari alam kolonial ke alam merdeka tidak dengan sendirinya mengubah karakter manusia-manusianya?
Kedua, dari berbagai peristiwa, baik di dalam jalur formal, yakni melalui lembaga peradilan, maupun jalur nonformal, terlihat jelas bahwa ada banyak kebijakan yang tidak mendapatkan penerimaan atau bahkan penolakan sejak dari proses hendak diadakan. Peristiwa tersebut layak untuk menjadi bahan refleksi mendalam. Tidak untuk keperluan politik sempit, melainkan untuk keperluan merenungkan kualitas kehidupan kita bersama sebagai sebuah bangsa dan negara. Tentu pertanyaan sederhana yang perlu diangkat sebagai bahan renungan adalah mengapa harus ada jarak antara kebijakan dengan keinginan publik?
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa apa yang diharapkan masih tetap dalam kedudukannya sebagai harapan dan bahkan mungkin masih jauh dari mewujud. Atas kenyataan itu kita pasti tergoda untuk segera bertanya, mengapa demikian? Mengapa seluruh proses kehidupan berbangsa dan bernegara belum mampu menjadi rahim bagi lahirnya jiwa kepahlawanan? Apa yang sedang terjadi? Apakah kita, sebagai bangsa, masih punya kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan agar kita mendapatkan kehidupan bersama yang ideal, yakni suatu cara hidup yang senantiasa berpegang pada ajaran moral bangsa sehingga terbangun ekosistem yang memungkinkan lahirnya pribadi-pribadi Indonesia yang dapat diandalkan untuk meneruskan pengabdian para pahlawan terdahulu?
Apa yang Perlu Dilakukan?
Kaum berilmu perlu membuat refleksi yang berarah pada pertanyaan: benarkah kisah kepahlawanan hanya berhenti sebagai peristiwa seremonial setiap tahun? Apakah kisah kepahlawanan tidak perlu dipulihkan kedudukannya sebagai pesan sejarah, yakni bahwa para pahlawan sesungguhnya mewariskan jiwa kepahlawanan––dan karena itu seluruh kehidupan kita sebagai bangsa mestinya menjadi kehidupan yang disemai dengan nilai-nilai dasar kepahlawanan?
Kita berpandangan bahwa jika refleksi tersebut dapat dilakukan, kaum intelektual akan memberi sumbangan yang sangat besar terhadap suatu proses yang hendak disebut di sini sebagai upaya membangkitkan kepahlawanan publik. Yang dimaksudkan adalah upaya bersama untuk mengembalikan keadaan kehidupan publik, sebagaimana ketika itu, mampu melahirkan pahlawan-pahlawan yang karena tindakan sejarah mereka semua terbentuk bangsa dan negara dengan cita-cita mulia yang terpikul di punggungnya.
Sebagian dari kita mungkin akan mengernyitkan dahi: bukankah para pahlawan hidup di masa kolonial? Benar. Justru di situ letak misteri yang amat perlu dipecahkan, yakni mengapa dalam keadaan yang demikian sulit masyarakat justru dapat melahirkan laku kepahlawanan yang menyejarah? Sebagian yang lain barangkali akan langsung bertanya: apa yang seharusnya kita lakukan agar kehidupan bersama kita dapat segera dipulihkan mengingat bangsa kini berada dalam kompleksitas masalah dan karena itu membutuhkan suatu jenis tindakan kepahlawanan agar dapat mengurai dan menyelesaikan masalah-masalah dasar bangsa?
Terhadap suatu masalah yang langsung berkait dengan kehidupan publik tidak semestinya kita jawab dengan ketergesaan. Kita membutuhkan ketenangan atau bila menggunakan term dalam sila keempat Pancasila, kita membutuhkan “hikmat kebijaksanaan”, yakni pikiran yang jernih, bervisi, dan berjiwa kepahlawanan. Mengapa? Karena untuk melihat diri kita sendiri diperlukan keberanian dan kejujuran atau keterusterangan. Ibarat mendiagnosis penyakit, pasien harus berkata jujur kepada dokter agar penyakit dapat benar-benar dikenali dan dengan cara itu obat serta metode pengobatan dapat diberikan secara benar.
Kita tahu bahwa mengatakan apa adanya sebagaimana adanya bukan perkara mudah. Oleh sebab itu langkah yang paling logis untuk diselenggarakan bukanlah langkah yang bersifat memberikan “obat”, melainkan langkah yang memberikan kemampuan kepada publik agar memiliki kesediaan untuk melakukan refleksi bersama secara berani, jujur, dan apa adanya. Sebaliknya, kepada setiap kita, hendaknya dibangkitkan keberanian untuk bertanya secara jujur pula: hari ini apa yang telah aku berikan kepada bangsa agar perjalanan bangsa sampai pada tujuan luhurnya?
Apabila pengertian tersebut dapat digunakan, dapat dirumuskan secara lebih sederhana bahwa keseluruhan proses kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan rahim bagi pribadi Indonesia, yakni pribadi yang pada dirinya bersemayam jiwa kepahlawanan. Dengan cara pandang itu kita akan dapat melihat beberapa arena sekaligus. Pertama, dalam kenyataan, selama beberapa dekade ini, sebagai bangsa kita menjumpai demikian banyak masalah hukum yang menimpa para pejabat publik, mulai dari eksekutif, legislatif hingga yudikatif. Di luar itu catatan hukum juga memperlihatkan dijumpainya masalah-masalah hukum yang mencerminkan tidak atau belum bekerjanya jiwa kepahlawanan sebagaimana yang (telah) ditunjukkan dengan terjadinya problem-problem yang tidak kita inginkan terjadi di alam kemerdekaan. Mengapa perpindahan dari alam kolonial ke alam merdeka tidak dengan sendirinya mengubah karakter manusia-manusianya?
Kedua, dari berbagai peristiwa, baik di dalam jalur formal, yakni melalui lembaga peradilan, maupun jalur nonformal, terlihat jelas bahwa ada banyak kebijakan yang tidak mendapatkan penerimaan atau bahkan penolakan sejak dari proses hendak diadakan. Peristiwa tersebut layak untuk menjadi bahan refleksi mendalam. Tidak untuk keperluan politik sempit, melainkan untuk keperluan merenungkan kualitas kehidupan kita bersama sebagai sebuah bangsa dan negara. Tentu pertanyaan sederhana yang perlu diangkat sebagai bahan renungan adalah mengapa harus ada jarak antara kebijakan dengan keinginan publik?
Dua contoh tersebut menunjukkan bahwa apa yang diharapkan masih tetap dalam kedudukannya sebagai harapan dan bahkan mungkin masih jauh dari mewujud. Atas kenyataan itu kita pasti tergoda untuk segera bertanya, mengapa demikian? Mengapa seluruh proses kehidupan berbangsa dan bernegara belum mampu menjadi rahim bagi lahirnya jiwa kepahlawanan? Apa yang sedang terjadi? Apakah kita, sebagai bangsa, masih punya kesempatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan agar kita mendapatkan kehidupan bersama yang ideal, yakni suatu cara hidup yang senantiasa berpegang pada ajaran moral bangsa sehingga terbangun ekosistem yang memungkinkan lahirnya pribadi-pribadi Indonesia yang dapat diandalkan untuk meneruskan pengabdian para pahlawan terdahulu?
Apa yang Perlu Dilakukan?
Kaum berilmu perlu membuat refleksi yang berarah pada pertanyaan: benarkah kisah kepahlawanan hanya berhenti sebagai peristiwa seremonial setiap tahun? Apakah kisah kepahlawanan tidak perlu dipulihkan kedudukannya sebagai pesan sejarah, yakni bahwa para pahlawan sesungguhnya mewariskan jiwa kepahlawanan––dan karena itu seluruh kehidupan kita sebagai bangsa mestinya menjadi kehidupan yang disemai dengan nilai-nilai dasar kepahlawanan?
Kita berpandangan bahwa jika refleksi tersebut dapat dilakukan, kaum intelektual akan memberi sumbangan yang sangat besar terhadap suatu proses yang hendak disebut di sini sebagai upaya membangkitkan kepahlawanan publik. Yang dimaksudkan adalah upaya bersama untuk mengembalikan keadaan kehidupan publik, sebagaimana ketika itu, mampu melahirkan pahlawan-pahlawan yang karena tindakan sejarah mereka semua terbentuk bangsa dan negara dengan cita-cita mulia yang terpikul di punggungnya.
Sebagian dari kita mungkin akan mengernyitkan dahi: bukankah para pahlawan hidup di masa kolonial? Benar. Justru di situ letak misteri yang amat perlu dipecahkan, yakni mengapa dalam keadaan yang demikian sulit masyarakat justru dapat melahirkan laku kepahlawanan yang menyejarah? Sebagian yang lain barangkali akan langsung bertanya: apa yang seharusnya kita lakukan agar kehidupan bersama kita dapat segera dipulihkan mengingat bangsa kini berada dalam kompleksitas masalah dan karena itu membutuhkan suatu jenis tindakan kepahlawanan agar dapat mengurai dan menyelesaikan masalah-masalah dasar bangsa?
Terhadap suatu masalah yang langsung berkait dengan kehidupan publik tidak semestinya kita jawab dengan ketergesaan. Kita membutuhkan ketenangan atau bila menggunakan term dalam sila keempat Pancasila, kita membutuhkan “hikmat kebijaksanaan”, yakni pikiran yang jernih, bervisi, dan berjiwa kepahlawanan. Mengapa? Karena untuk melihat diri kita sendiri diperlukan keberanian dan kejujuran atau keterusterangan. Ibarat mendiagnosis penyakit, pasien harus berkata jujur kepada dokter agar penyakit dapat benar-benar dikenali dan dengan cara itu obat serta metode pengobatan dapat diberikan secara benar.
Kita tahu bahwa mengatakan apa adanya sebagaimana adanya bukan perkara mudah. Oleh sebab itu langkah yang paling logis untuk diselenggarakan bukanlah langkah yang bersifat memberikan “obat”, melainkan langkah yang memberikan kemampuan kepada publik agar memiliki kesediaan untuk melakukan refleksi bersama secara berani, jujur, dan apa adanya. Sebaliknya, kepada setiap kita, hendaknya dibangkitkan keberanian untuk bertanya secara jujur pula: hari ini apa yang telah aku berikan kepada bangsa agar perjalanan bangsa sampai pada tujuan luhurnya?
Lihat Juga :
tulis komentar anda