Temuan TGPF Langkah Awal Memulai Rekonsiliasi di Papua
Sabtu, 24 Oktober 2020 - 12:04 WIB
JAKARTA - Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) terkait kasus penembakan terhadap Pendeta Yeremias bisa menjadi langkah awal proses rekonsiliasi di Papua.
“Temuan TGPF bisa menjadi langkah awal memulai proses rekonsiliasi di Papua untuk memenuhi rasa keadilan dari pihak korban dan merumuskan pendekatan yang mampu memutus siklus kekerasan yang terus berulang di Papua,” ujar Ketua Tim Kajian Papua LIPI Adriana Elisabeth dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Sabtu (24/10/2020). (Baca juga: TGPF Intan Jaya Selesai Tugas, Pulihkan Kepercayaan Papua Pada Negara)
Adriana menilai, pembentukan TGPF masih didominasi oleh elite (pusat) dan sebagian besar belum memahami konteks Papua sebagai daerah konflik (bersenjata). Meski begitu dia menghargai respons cepat pemerintah dalam kasus tersebut. ”Saya menghargai respons cepat pemerintah pusat dalam kasus penembakan Pendeta Yeremias, meskipun hasilnya belum bisa menyelesaikan secara tuntas konflik kekerasan yang sudah menahun di Papua terutama di wilayah pegunungan tengah,” katanya. (Baca juga: Ondofolo Besar Yanto Eluay: Papua Bagian dari Indonesia Sudah Final!)
Adriana juga meminta TGPF mengungkap dengan jelas pelaku penembakan dan membawa ke jalur hukum dimana prosesnya harus transparan dan disampaikan kepada publik, terutama kepada keluarga korban. Mengenai dugaan pelaku penembakan adalah aparat keamanan, Adriana mengaku, hal itu harus dibuktikan kebenarannya. “Kata ‘dugaan’ bermakna bahwa temuan TGPF masih harus dibuktikan kebenarannya. Namun dalam konflik bersenjata, aparat keamanan sebagai salah satu aktor kunci sangat mungkin menjadi sumber persoalan di area konflik,” ucapnya. (Baca juga: Sejumlah Tokoh Papua Ingin Otsus Papua Dilanjutkan)
Menurut Adriana, aparat keamanan juga bisa melakukan kesalahan dalam tugas karena pengetahuan dan pengalaman yang kurang mengenai wilayah Papua, terutama tidak memahami sejarah kekerasan dan adat istiadat orang Papua. ”Jiwa besar aparat keamanan harus ditunjukkan dengan konsekuensi menanggung resiko hukum karena kesalahannya, bukan hanya untuk memenuhi aspek formal namun juga memenuhi aspek kemanusiaan yaitu mengembalikan rasa percaya pada komitmen pemerintah pusat dalam memperbaiki kondisi keamanan di Papua,” kata dia.
Adriana berharap, pemerintah segera mengatasi setiap sumber-sumber kekerasan di Papua, baik dari segi politik keamanan, ekonomi dan sosial budaya, serta mencari pendekatan baru yang menjamin keamanan dan memenuhi rasa keadilan setiap orang Papua sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat. ”Semua elemen di pusat dan daerah harus duduk bersama mencari dan memahami bersama akar persoalan kekerasan di Papua/Papua Barat,” ucapnya.
“Temuan TGPF bisa menjadi langkah awal memulai proses rekonsiliasi di Papua untuk memenuhi rasa keadilan dari pihak korban dan merumuskan pendekatan yang mampu memutus siklus kekerasan yang terus berulang di Papua,” ujar Ketua Tim Kajian Papua LIPI Adriana Elisabeth dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Sabtu (24/10/2020). (Baca juga: TGPF Intan Jaya Selesai Tugas, Pulihkan Kepercayaan Papua Pada Negara)
Adriana menilai, pembentukan TGPF masih didominasi oleh elite (pusat) dan sebagian besar belum memahami konteks Papua sebagai daerah konflik (bersenjata). Meski begitu dia menghargai respons cepat pemerintah dalam kasus tersebut. ”Saya menghargai respons cepat pemerintah pusat dalam kasus penembakan Pendeta Yeremias, meskipun hasilnya belum bisa menyelesaikan secara tuntas konflik kekerasan yang sudah menahun di Papua terutama di wilayah pegunungan tengah,” katanya. (Baca juga: Ondofolo Besar Yanto Eluay: Papua Bagian dari Indonesia Sudah Final!)
Adriana juga meminta TGPF mengungkap dengan jelas pelaku penembakan dan membawa ke jalur hukum dimana prosesnya harus transparan dan disampaikan kepada publik, terutama kepada keluarga korban. Mengenai dugaan pelaku penembakan adalah aparat keamanan, Adriana mengaku, hal itu harus dibuktikan kebenarannya. “Kata ‘dugaan’ bermakna bahwa temuan TGPF masih harus dibuktikan kebenarannya. Namun dalam konflik bersenjata, aparat keamanan sebagai salah satu aktor kunci sangat mungkin menjadi sumber persoalan di area konflik,” ucapnya. (Baca juga: Sejumlah Tokoh Papua Ingin Otsus Papua Dilanjutkan)
Menurut Adriana, aparat keamanan juga bisa melakukan kesalahan dalam tugas karena pengetahuan dan pengalaman yang kurang mengenai wilayah Papua, terutama tidak memahami sejarah kekerasan dan adat istiadat orang Papua. ”Jiwa besar aparat keamanan harus ditunjukkan dengan konsekuensi menanggung resiko hukum karena kesalahannya, bukan hanya untuk memenuhi aspek formal namun juga memenuhi aspek kemanusiaan yaitu mengembalikan rasa percaya pada komitmen pemerintah pusat dalam memperbaiki kondisi keamanan di Papua,” kata dia.
Adriana berharap, pemerintah segera mengatasi setiap sumber-sumber kekerasan di Papua, baik dari segi politik keamanan, ekonomi dan sosial budaya, serta mencari pendekatan baru yang menjamin keamanan dan memenuhi rasa keadilan setiap orang Papua sebagai warga negara Indonesia yang berdaulat. ”Semua elemen di pusat dan daerah harus duduk bersama mencari dan memahami bersama akar persoalan kekerasan di Papua/Papua Barat,” ucapnya.
(cip)
tulis komentar anda