Greenpeace: Luas Karhutla Gambut 8 Kali Pulau Bali dalam 5 Tahun
Kamis, 22 Oktober 2020 - 13:41 WIB
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan ( karhutla ) gambut yang terjadi di Indonesia menjadi perhatian publik, termasuk kelompok pemerhati lingkungan. Hasil kajian terbaru Greenpeace Asia Tenggara terhadap karhutla dalam lima tahun terakhir menunjukkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi hutan dan lahan gambut dari pembakaran.
“Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali luas Pulau Bali terbakar antara 2015-2019. Laporan tersebut menyoroti sejumlah perusahaan perkebunan paling merusak yang beroperasi di negara ini,” papar Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara dalam pernyataan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Kamis (22/10/2020).
(Baca: Greenpeace Sebut Presiden Jokowi Tak Serius Lindungi Gambut)
Kajian itu mengungkapkan sekitar 789.600 hektar kawasan atau 18 persen dari 4,4 juta hektar lahan tersebut telah berulang kali terbakar. Kemudian, seluas 1,3 juta hektar atau 30 persen dari area kebakaran berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp).
Pada 2019, karhutla tahunan menjadi terburuk sejak 2015. Total 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta yang dilalap api.
Ironisnya lagi, lanjut Kiki, 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi ternyata belum menerima sanksi apapun. Pihaknya menilai perusahaan multinasional kelapa sawit dan bubur kertas secara praktis memiliki andil dalam mempengaruhi aturan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini.
“Tahun demi tahun mereka melanggar hukum dengan membiarkan hutan terbakar, namun mereka bisa menghindari keadilan dan tanpa dikenakan sanksi,” keluh dia.
(Baca: Kabareskrim Pastikan Pembakar Hutan di Masa Pandemi Akan Dihukum Berat)
Selama kurun itu, total 258 sanksi administratif dijatuhkan dengan 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata diajukan. Angka-angka ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tidak dapat diverifikasi oleh Greenpeace.
KLHK mengklaim telah mengajukan 19 tuntutan hukum perdata dan bahwa vonis bersalah telah dijatuhkan dalam sembilan kasus ini. Perusahaan juga diperintahkan untuk membayar denda untuk kompensasi material dan restorasi. Namun hingga April 2020 hanya satu perusahaan yang mematuhinya.
“Pemerintah telah mengajukan tuntutan pidana terhadap perusahaan hanya dalam lima kasus dan menghasilkan empat vonis bersalah. Mempertimbangkan skala kebakaran di tahun 2019 yang kerusakannya mendekati seperti kasus tahun 2015, tanggapan pemerintah tampaknya tidak menunjukkan penegakan hukum yang serius dan efektif,” singgungnya.
Kajian tersebut juga menilai perusahaan perkebunan dan lahan yang terbakar untuk dicabut Hak Guna Usaha (HGU) dan membayar potensi denda sekitar Rp5,7 triliun. Perhitungan potensi denda itu berdasarkan Pasal 5 ayat (b) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan atau Pembatalan HGU atau Hak Pakai pada Lahan yang Terbakar.
“Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali luas Pulau Bali terbakar antara 2015-2019. Laporan tersebut menyoroti sejumlah perusahaan perkebunan paling merusak yang beroperasi di negara ini,” papar Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara dalam pernyataan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Kamis (22/10/2020).
(Baca: Greenpeace Sebut Presiden Jokowi Tak Serius Lindungi Gambut)
Kajian itu mengungkapkan sekitar 789.600 hektar kawasan atau 18 persen dari 4,4 juta hektar lahan tersebut telah berulang kali terbakar. Kemudian, seluas 1,3 juta hektar atau 30 persen dari area kebakaran berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas (pulp).
Pada 2019, karhutla tahunan menjadi terburuk sejak 2015. Total 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta yang dilalap api.
Ironisnya lagi, lanjut Kiki, 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi ternyata belum menerima sanksi apapun. Pihaknya menilai perusahaan multinasional kelapa sawit dan bubur kertas secara praktis memiliki andil dalam mempengaruhi aturan di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini.
“Tahun demi tahun mereka melanggar hukum dengan membiarkan hutan terbakar, namun mereka bisa menghindari keadilan dan tanpa dikenakan sanksi,” keluh dia.
(Baca: Kabareskrim Pastikan Pembakar Hutan di Masa Pandemi Akan Dihukum Berat)
Selama kurun itu, total 258 sanksi administratif dijatuhkan dengan 51 tuntutan pidana dan 21 gugatan perdata diajukan. Angka-angka ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tidak dapat diverifikasi oleh Greenpeace.
KLHK mengklaim telah mengajukan 19 tuntutan hukum perdata dan bahwa vonis bersalah telah dijatuhkan dalam sembilan kasus ini. Perusahaan juga diperintahkan untuk membayar denda untuk kompensasi material dan restorasi. Namun hingga April 2020 hanya satu perusahaan yang mematuhinya.
“Pemerintah telah mengajukan tuntutan pidana terhadap perusahaan hanya dalam lima kasus dan menghasilkan empat vonis bersalah. Mempertimbangkan skala kebakaran di tahun 2019 yang kerusakannya mendekati seperti kasus tahun 2015, tanggapan pemerintah tampaknya tidak menunjukkan penegakan hukum yang serius dan efektif,” singgungnya.
Kajian tersebut juga menilai perusahaan perkebunan dan lahan yang terbakar untuk dicabut Hak Guna Usaha (HGU) dan membayar potensi denda sekitar Rp5,7 triliun. Perhitungan potensi denda itu berdasarkan Pasal 5 ayat (b) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 15 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan atau Pembatalan HGU atau Hak Pakai pada Lahan yang Terbakar.
(muh)
tulis komentar anda