KPK Sebut Sistem Tata Kelola Program LPG 3 Kg Bermasalah
Kamis, 08 Oktober 2020 - 13:58 WIB
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan sistem tata kelola program LPG 3 Kg bermasalah. Hal itu diungkapkan setelah pada rentang Januari – Juli 2019 lembaga antirasuah itu melakukan Kajian Sistem Tata Kelola Program LPG 3 Kg.
Kajian tersebut dilakukan untuk mengetahui keefektivan konversi minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi "Kajian ini dilakukan untuk memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program LPG bersubsidi, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG bersubsidi," ujar Plt Juru bicara KPK Ipi Maryati dalam keterangannya, Kamis (8/10/2020). (Baca juga: Dorong Perbaikan Layanan Publik, KPK Sambangi Dua Kantor Samsat)
Kajian ini berangkat dari latar belakang program pemerintah terkait konversi minyak tanah ke LPG pada 2007 yang bertujuan untuk diversifikasi pasokan energi, efisiensi anggaran, dan mengurangi subsidi minyak tanah. Subsidi minyak tanah pada 2008 mencapai Rp47,61 Triliun. Setelah dialihkan menjadi subsidi LPG nilai subsidi justru meningkat menjadi Rp58,14 Trilliun. Ini menjadi beban yang terus membengkak bagi negara. (Baca juga: KPK Panggil Sekda Kota Bogor terkait Kasus Rachmat Yasin)
Data per 2018 penerima subsidi terdiri atas 50 juta rumah tangga; 2,29 juta usaha mikro; dan 47.554 nelayan. Distribusi paket pada rentang 2007 – 2018 untuk tiga kelompok penerima subsidi tersebut mencapai 57,65 juta paket. Selain itu, kata Ipi, ditemukan masalah dengan dua aspek terkait kajian tersebut. Pada aspek perencanaan, ditemukannya ketidakjelasan kriteria pengguna LPG bersubsidi. Tidak ada kriteria spesifik/definisi masyarakat miskin penerima subsidi, tidak jelas jenis usaha mikro apa saja yang dimaksud yang bisa menerima subsidi dan penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan. (Baca juga: KPK Panggil Pegawai Datalink Solution terkait Kasus Korupsi di Kemenag)
Lalu, tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi. Sebab, usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. "Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut. Pada 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," kata Ipi.
Pada aspek pelaksanaan ditemukan permasalahan yakni, lemahnya sistem pengawasan distribusi. Hal itu dikarenakan kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar. Termasuk minimnya sanksi kepada agen oleh Pertamina. Menurut Ipi, minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) atau logbook, dan lemahnya kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi.
Serta tidak adanya ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET, Kementerian ESDM tidak mengevaluasi HET pemda, lalu agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya. "Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak,hanya bisa memberikan imbauan. Harga di pangkalan lebih tinggi dari HET dan HET tidak dievaluasi secara berkala," jelasnya.
Tidak hanya itu, dalam kajian ini juga ditemukan tidak operasional pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO). Hal ini dikarenakan pembagian alokasi ditentukan oleh Kementerian ESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan.
Hal itu menyebabkan penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional yakni, kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan atau berbatasan. Lalu kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain. Serta dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali.
Atas permasalahan tersebut, kata Ipi, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah untuk konversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi harga komoditas terbukti tidak efektif, dengan meningkatnya anggaran subsidi melebihi subsidi minyak tanah. "Subsidi harga LPG 3 kg bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan. Mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup terbukti gagal," ungkapnya.
Karenanya, KPK memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan PT Pertamina (Persero), yaitu evaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi. "Serta Pemerintah harus mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi. Dan Perbaikan database untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM)," pungkasnya.
Kajian tersebut dilakukan untuk mengetahui keefektivan konversi minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi "Kajian ini dilakukan untuk memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program LPG bersubsidi, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG bersubsidi," ujar Plt Juru bicara KPK Ipi Maryati dalam keterangannya, Kamis (8/10/2020). (Baca juga: Dorong Perbaikan Layanan Publik, KPK Sambangi Dua Kantor Samsat)
Kajian ini berangkat dari latar belakang program pemerintah terkait konversi minyak tanah ke LPG pada 2007 yang bertujuan untuk diversifikasi pasokan energi, efisiensi anggaran, dan mengurangi subsidi minyak tanah. Subsidi minyak tanah pada 2008 mencapai Rp47,61 Triliun. Setelah dialihkan menjadi subsidi LPG nilai subsidi justru meningkat menjadi Rp58,14 Trilliun. Ini menjadi beban yang terus membengkak bagi negara. (Baca juga: KPK Panggil Sekda Kota Bogor terkait Kasus Rachmat Yasin)
Data per 2018 penerima subsidi terdiri atas 50 juta rumah tangga; 2,29 juta usaha mikro; dan 47.554 nelayan. Distribusi paket pada rentang 2007 – 2018 untuk tiga kelompok penerima subsidi tersebut mencapai 57,65 juta paket. Selain itu, kata Ipi, ditemukan masalah dengan dua aspek terkait kajian tersebut. Pada aspek perencanaan, ditemukannya ketidakjelasan kriteria pengguna LPG bersubsidi. Tidak ada kriteria spesifik/definisi masyarakat miskin penerima subsidi, tidak jelas jenis usaha mikro apa saja yang dimaksud yang bisa menerima subsidi dan penentuan kriteria usaha mikro diserahkan ke pangkalan. (Baca juga: KPK Panggil Pegawai Datalink Solution terkait Kasus Korupsi di Kemenag)
Lalu, tidak akuntabelnya penetapan kuota penerima LPG bersubsidi. Sebab, usulan dari daerah tidak didasarkan pada data calon penerima yang valid. "Misalnya, usulan yang diajukan provinsi selalu meningkat, padahal data BPS menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut. Pada 2018, dari 404 kabupaten/kota hanya 67 yang mengajukan usulan penerima subsidi dan diterima oleh Kementerian ESDM," kata Ipi.
Pada aspek pelaksanaan ditemukan permasalahan yakni, lemahnya sistem pengawasan distribusi. Hal itu dikarenakan kurangnya sosialisasi dari Pertamina dan agen kepada pangkalan menyebabkan banyak pangkalan tidak mengisi logbook dengan benar. Termasuk minimnya sanksi kepada agen oleh Pertamina. Menurut Ipi, minimnya sanksi dari agen ke pangkalan untuk yang menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) atau logbook, dan lemahnya kendali dalam implementasi penetapan harga eceran tertinggi.
Serta tidak adanya ketentuan mengenai bagaimana pemda mengatur HET, Kementerian ESDM tidak mengevaluasi HET pemda, lalu agen jarang melakukan pengawasan ke pangkalannya, seperti Pertamina tidak selalu mengawasi agennya. "Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota tidak mempunyai wewenang untuk menindak,hanya bisa memberikan imbauan. Harga di pangkalan lebih tinggi dari HET dan HET tidak dievaluasi secara berkala," jelasnya.
Tidak hanya itu, dalam kajian ini juga ditemukan tidak operasional pengaturan zonasi distribusi LPG Public Service Obligation (PSO). Hal ini dikarenakan pembagian alokasi ditentukan oleh Kementerian ESDM dengan memperhitungkan kebutuhan per kabupaten/kota sebagaimana usulan.
Hal itu menyebabkan penentuan alokasi per daerah berdampak kesulitan di level operasional yakni, kekurangan di suatu daerah tidak dapat dipenuhi oleh daerah lain yang kelebihan walaupun berdekatan atau berbatasan. Lalu kelebihan di suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain. Serta dampaknya, terjadi manipulasi pengisian logbook. Semakin banyak persentase ke pengecer, maka harga semakin tidak terkendali. Ada indikasi pembelian rutin dan jumlah banyak oleh UMKM/RT untuk dijual kembali.
Atas permasalahan tersebut, kata Ipi, maka dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah untuk konversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan subsidi harga komoditas terbukti tidak efektif, dengan meningkatnya anggaran subsidi melebihi subsidi minyak tanah. "Subsidi harga LPG 3 kg bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan. Mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup terbukti gagal," ungkapnya.
Karenanya, KPK memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan PT Pertamina (Persero), yaitu evaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi. "Serta Pemerintah harus mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi. Dan Perbaikan database untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM)," pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda