Ini Rekomendasi Setara Institute untuk Reformasi TNI
Selasa, 06 Oktober 2020 - 13:13 WIB
JAKARTA - Selepas Orde Baru jatuh, masyarakat menginginkan adanya reformasi di sejumlah sektor, termasuk keamanan dan pertahanan. Sayangnya, menurut Setara Institute reformasi di sektor keamanan justru mengalami kemunduran yang serius.
Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, hal tersebut akan mengancam supremasi sipil dan demokrasi. Untuk itu, Setara Institute mengusulkan beberapa rekomendasi agar reformasi TNI berjalan baik.
Pertama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan akselerasi terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang diduga dilakukan oknum TNI. Selain itu, pemerintah harus mempercepat pembahasan dan pengesahan mengenai revisi Undang-Undang (UU) Peradilan Militer.
(Baca: Setara Institute Nilai Reformasi Militer Jalan di Tempat)
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus aktif dalam mengawasi setiap agenda reformasi TNI. Ketiga, Presiden Jokowi harus mengevaluasi kinerja kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI.
“Beberapa kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil, terutama yang lingkup kerjanya di luar operasi militer selain perang (OMSP). Juga jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI,” ujar Ismail dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).
Setara mendesak Presiden Jokowi dan DPR untuk tegas melakukan pengawasan terhadap kementerian dan lembaga yang melibatkan TNI dalam bidang OMSP. Kebijakan-kebijakan yang berpotensi melanggar UU TNI perlu dievaluasi dan dibatalkan.
(Baca: Komnas HAM Papua: Kasus Pelanggaran HAM Berat Fayit Tuntas, Serka Fajar Telah Divonis)
Ismail meminta Presiden Jokowi, DPR, dan TNI membuat ulang roadmap tentang reformasi TNI. Hal tersebut untuk mengantisipasi stagnasi dan kemunduran reformasi TNI yang saat ini nyaris tanpa arah.
“Desain penguatan pertahanan dan profesionalitas TNI harus ditujukan untuk merespons dinamika global. Juga tantangan kemajuan teknologi informasi, termasuk pengutamaan human security,” pungkasnya.
Lihat Juga: Jebolan Sepa PK TNI yang Jabat Posisi Letnan Jenderal, 2 Kali Jadi Tim Dokter Kepresidenan
Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, hal tersebut akan mengancam supremasi sipil dan demokrasi. Untuk itu, Setara Institute mengusulkan beberapa rekomendasi agar reformasi TNI berjalan baik.
Pertama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan akselerasi terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang diduga dilakukan oknum TNI. Selain itu, pemerintah harus mempercepat pembahasan dan pengesahan mengenai revisi Undang-Undang (UU) Peradilan Militer.
(Baca: Setara Institute Nilai Reformasi Militer Jalan di Tempat)
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus aktif dalam mengawasi setiap agenda reformasi TNI. Ketiga, Presiden Jokowi harus mengevaluasi kinerja kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI.
“Beberapa kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil, terutama yang lingkup kerjanya di luar operasi militer selain perang (OMSP). Juga jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI,” ujar Ismail dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).
Setara mendesak Presiden Jokowi dan DPR untuk tegas melakukan pengawasan terhadap kementerian dan lembaga yang melibatkan TNI dalam bidang OMSP. Kebijakan-kebijakan yang berpotensi melanggar UU TNI perlu dievaluasi dan dibatalkan.
(Baca: Komnas HAM Papua: Kasus Pelanggaran HAM Berat Fayit Tuntas, Serka Fajar Telah Divonis)
Ismail meminta Presiden Jokowi, DPR, dan TNI membuat ulang roadmap tentang reformasi TNI. Hal tersebut untuk mengantisipasi stagnasi dan kemunduran reformasi TNI yang saat ini nyaris tanpa arah.
“Desain penguatan pertahanan dan profesionalitas TNI harus ditujukan untuk merespons dinamika global. Juga tantangan kemajuan teknologi informasi, termasuk pengutamaan human security,” pungkasnya.
Lihat Juga: Jebolan Sepa PK TNI yang Jabat Posisi Letnan Jenderal, 2 Kali Jadi Tim Dokter Kepresidenan
(muh)
tulis komentar anda