Menambah Utang Dampaknya Kecil terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Senin, 21 September 2020 - 15:19 WIB
JAKARTA - Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengungkapkan separuh pendanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) berasal dari utang. Karena itu pemerintah mesti lebih kreatif dalam mencari sumber-sumber pendanaan di luar utang.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu menerangkan bahwa saat ini kondisi semakin berat karena hingga Juni 2020 penerimaan negara baru mencapai Rp811,2 triliun. Target pendapatan tahun ini sebesar Rp1.760,9 triliun. Sementara itu, perkiraan belanja negara mencapai Rp2.233,2 triliun.
“Gali lubang, tutup lubang seakan menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyambung nyawa APBN. Dari tahun ke tahun, pemerintah terus menambah utang dengan alokasi dana dipergunakan untuk membiayai belanja negara dan sebagian lagi untuk membayar utang beserta bunganya,” jelasnnya, melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (21/9/2020).
(Baca: Terus Melejit, Rasio Utang Negara Capai 34,5%)
Dia mengatakan jika utang terus menumpuk, bisa jadi akan ada yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden utang Indonesia. Hal itu merujuk pada jumlah utang yang dibuat selama mantan Walikota Solo itu memimpin enam tahun ini.
“Sejak dilantik Oktober 2014 hingga Juli 2020, Presiden Jokowi menambah utang pemerintah sebesar Rp2.833,14 triliun. Jumlah utang hingga akhir Juli 2020 Rp5.434,86 triliun,” paparnya.
Sukamta menuturkan jumlah itu meningkat drastis dan melampaui utang-utang periode presiden sebelumnya, yakni masa Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Totalnya utang keduanya Rp2.601,72 triliun.
Masalahnya, penambahan utang yang sangat besar itu hanya berdampak minimalis terhadap pertumbuhan ekonomi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 persen setiap tahun. Itu artinya stagnan.
Politikus dapil D.I.Yogyakarta itu merinci utang pemerintahan Jokowi yakni Rp557 triliun (2015), Rp301 triliun (2016), Rp472 triliun (2017), Rp480 triliun (2018), dan Rp152 triliun (2019). Dia mengungkapkan jika dibandingkan antara akhir Juni 2020 dengan Juni 2019, ada penambahan utang Rp694 triliun.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu menerangkan bahwa saat ini kondisi semakin berat karena hingga Juni 2020 penerimaan negara baru mencapai Rp811,2 triliun. Target pendapatan tahun ini sebesar Rp1.760,9 triliun. Sementara itu, perkiraan belanja negara mencapai Rp2.233,2 triliun.
“Gali lubang, tutup lubang seakan menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyambung nyawa APBN. Dari tahun ke tahun, pemerintah terus menambah utang dengan alokasi dana dipergunakan untuk membiayai belanja negara dan sebagian lagi untuk membayar utang beserta bunganya,” jelasnnya, melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (21/9/2020).
(Baca: Terus Melejit, Rasio Utang Negara Capai 34,5%)
Dia mengatakan jika utang terus menumpuk, bisa jadi akan ada yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden utang Indonesia. Hal itu merujuk pada jumlah utang yang dibuat selama mantan Walikota Solo itu memimpin enam tahun ini.
“Sejak dilantik Oktober 2014 hingga Juli 2020, Presiden Jokowi menambah utang pemerintah sebesar Rp2.833,14 triliun. Jumlah utang hingga akhir Juli 2020 Rp5.434,86 triliun,” paparnya.
Sukamta menuturkan jumlah itu meningkat drastis dan melampaui utang-utang periode presiden sebelumnya, yakni masa Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Totalnya utang keduanya Rp2.601,72 triliun.
Masalahnya, penambahan utang yang sangat besar itu hanya berdampak minimalis terhadap pertumbuhan ekonomi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 persen setiap tahun. Itu artinya stagnan.
Politikus dapil D.I.Yogyakarta itu merinci utang pemerintahan Jokowi yakni Rp557 triliun (2015), Rp301 triliun (2016), Rp472 triliun (2017), Rp480 triliun (2018), dan Rp152 triliun (2019). Dia mengungkapkan jika dibandingkan antara akhir Juni 2020 dengan Juni 2019, ada penambahan utang Rp694 triliun.
tulis komentar anda