PK Pintu Keluar Terpidana Korupsi
Selasa, 15 September 2020 - 07:05 WIB
"KPK prihatin karena kecenderungan pengurangan hukuman setiap pemohon PK menjadi angin segar bagi para koruptor. Di sisi lain, putusan tersebut tidak mendukung upaya pemerintah dalam perang melawan korupsi. Kami khawatir putusan seperti itu menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi," ungkap Ali.
Meski demikian, KPK secara kelembagaan dan penegak hukum tetap menghormati putusan majelis hakim PK tersebut. "Sekalipun PK adalah hak terpidana, namun mestinya harus diwaspadai juga bahwa ada modus baru dengan menerima putusan di tingkat pertama, lalu ajukan upaya hukum luar biasa PK dengan harapan hukuman dipotong. “Tim KPK memang menemukan modus baru yang digunakan para terpidana untuk menempuh upaya PK," ujarnya.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro membantah jika MA mengistimewakan para terpidana koruptor dengan mengurangi vonis, bahkan ada yang bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Menurut dia, lembaga hukum PK sebagai upaya hukum luar biasa yang disediakan negara dimaksudkan untuk mengoreksi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT), yang seharusnya tidak dihukum menjadi terhukum. UU mengatur ada tiga alasan PK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. (Lihat videonya: DKI Jakarta Kembali Berlakukan PSBB Jilid II Mulai Hari Ini)
"Oleh karena itu, apabila ada terpidana yang mengajukan PK dan pemohon PK dapat membuktikan dalil hukum permohonannya, maka PK dikabulkan. Mengabulkan PK bisa hukuman dikurangi karena ada alasan, yang dilarang dalam PK adalah menambah atau memperberat hukuman," ujar Andi.
Hakim Agung MA ini mengungkapkan salah satu klausal dalam Pasal 266 KUHAP bahwa putusan PK tidak boleh lebih tinggi daripada putusan sebelumnya. Sekali lagi, kata dia, pengurangan ataupun vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim PK didasarkan pada alasan-alasan PK dalam Pasal 263 (2) KUHAP. “MA tidak alergi dengan kritik, semua kita terima sebagai masukan," katanya. (Sabir Laluhu)
Meski demikian, KPK secara kelembagaan dan penegak hukum tetap menghormati putusan majelis hakim PK tersebut. "Sekalipun PK adalah hak terpidana, namun mestinya harus diwaspadai juga bahwa ada modus baru dengan menerima putusan di tingkat pertama, lalu ajukan upaya hukum luar biasa PK dengan harapan hukuman dipotong. “Tim KPK memang menemukan modus baru yang digunakan para terpidana untuk menempuh upaya PK," ujarnya.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro membantah jika MA mengistimewakan para terpidana koruptor dengan mengurangi vonis, bahkan ada yang bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Menurut dia, lembaga hukum PK sebagai upaya hukum luar biasa yang disediakan negara dimaksudkan untuk mengoreksi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT), yang seharusnya tidak dihukum menjadi terhukum. UU mengatur ada tiga alasan PK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP. (Lihat videonya: DKI Jakarta Kembali Berlakukan PSBB Jilid II Mulai Hari Ini)
"Oleh karena itu, apabila ada terpidana yang mengajukan PK dan pemohon PK dapat membuktikan dalil hukum permohonannya, maka PK dikabulkan. Mengabulkan PK bisa hukuman dikurangi karena ada alasan, yang dilarang dalam PK adalah menambah atau memperberat hukuman," ujar Andi.
Hakim Agung MA ini mengungkapkan salah satu klausal dalam Pasal 266 KUHAP bahwa putusan PK tidak boleh lebih tinggi daripada putusan sebelumnya. Sekali lagi, kata dia, pengurangan ataupun vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim PK didasarkan pada alasan-alasan PK dalam Pasal 263 (2) KUHAP. “MA tidak alergi dengan kritik, semua kita terima sebagai masukan," katanya. (Sabir Laluhu)
(ysw)
tulis komentar anda