Penanganan Pandemi yang Gagap Gempita
Kamis, 10 September 2020 - 07:03 WIB
PANDEMI virus korona atau yang dikenal dengan Covid-19 masih jauh dari kata selesai. Kesadaran masyarakat yang masih rendah yang dipicu oleh komunikasi penanganan pandemi dari pemerintah yang kerap tak mampu dicerna oleh masyarakat menjadi salah satu biangnya.
Mengandalkan dengungan para influencer, buzzer,dan figur publik tak membuat masyarakat waspada. Para pendengung yang dibayar menggunakan anggaran negara dari pajak rakyat itu dengan gempita menciptakan konten-konten optimisme dengan narasi tak perlu takut berlebihan atau bersikap paranoid. Karena hal itu akan menurunkan imunitas tubuh sebagai penangkal Covid-19.
Celakanya, dengungan, konten dan narasi yang dibuat tanpa ilmu itu justru membuat masyarakat menangkap pesan bahwa saat ini pemerintah sudah berhasil menjinakkan virus yang berasal dari China itu. Faktanya, masih tercipta klaster-klaster penyebaran baru, baik di tempat wisata hingga perkantoran milik pemerintah.
Gempita narasi bahwa orang yang terpapar Covid-19 akan sembuh dengan sendirinya membuat masyarakat abai. Di Bogor, Jawa Barat misalnya, kasus penyebaran korona meningkat cukup signifikan. Kluster penularan Covid-19 di keluarga melonjak. Ada sekitar 48 klaster keluarga dengan 189 kasus positif korona. Klaster keluarga juga memegang porsi 34,7% kasus Covid-19 di kota hujan itu. Sebagian besar yang terpapar di klaster keluarga adalah mereka yang lanjut usia dan anak-anak.
Survei sosial yang dilakukan oleh Dinkes Bogor menunjukkan hanya 15% warga Bogor yang percaya penyakit virus korona atau Covid-19 benar-benar ada. Sisanya mengaku tak percaya. Hal ini bisa jadi pemicu klaster keluarga semakin masif. Kondisi tersebut juga berpotensi menyebarkan Covid-19 ke daerah lain. Misalnya ke Ibukota, mengingat banyak warga Bogor yang menggunakan moda transportasi Commuter Line dan bekerja di Jakarta.
Kondisi di Bogor tersebut juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Masyarakat menganggap Covid-19 adalah virus biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya. Seolah tak paham bahwa Covid-19 berpotensi menjadi “pembunuh” apabila orang yang terpapar memiliki penyakit bawaan seperti gangguan jantung, diabetes, kanker dan penyakit lainnya.
Pemerintah daerah pun dibuat gagap saat mencoba mencegah warganya berbuat semaunya. Meskipun ada ancaman denda bagi yang melanggar protokol kesehatan, masyarakat tetap saja melakukan kegiatan seperti di waktu normal. Bahkan, sentra-sentra hiburan dan makanan kini sudah membuka usahanya hingga tengah malam.
Kebijakan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal pandemi Maret 2020 silam dengan pertimbangan agar perekonomian nasional masih bisa diselamatkan ternyata tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Perekonomian tetap porak poranda, dan wabah terus berlangsung dan semakin banyak masyarakat yang berduka cita.
Tambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 melonjak mulai Juli 2020. Setiap harinya penambahan kasus konfirmasi positif bisa mencapai 2.000-3.000 kasus. Dalam dua bulan terakhir saja, yakni Juli-Agustus mencapai lebih dari 100 ribu kasus. Total kasus positif pada Juli sebanyak 51.991 kasus, Agustus 66.420 kasus. Jika dijumlahkan, dalam dua bulan terakhir kasus Covid-19 di Indonesia berjumlah 118.411.
Kini, pemerintah menegaskan fokus utama dalam penanganan pandemi tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Seolah kembali ke titik awal, narasi penanganan di sektor kesehatan yang baik menjadi kunci agar penanganan ekonomi yang berjalan beriringan dengannya juga dapat berjalan baik kembali dikemukakan.
Pemerintah seharusnya bisa membuktikan fokus dalam penanganan kesehatan tersebut dengan menerapkan karantina wilayah sesuai Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pemerintah, harus kembali membatasi gerak dan aktivitas penduduk, karena penularan terjadi akibat pertemuan antarorang. Selain karantina, pemerintah tetap perlu melakukan testing dan penelusuran kontak erat untuk menemukan kasus.
Mengandalkan dengungan para influencer, buzzer,dan figur publik tak membuat masyarakat waspada. Para pendengung yang dibayar menggunakan anggaran negara dari pajak rakyat itu dengan gempita menciptakan konten-konten optimisme dengan narasi tak perlu takut berlebihan atau bersikap paranoid. Karena hal itu akan menurunkan imunitas tubuh sebagai penangkal Covid-19.
Celakanya, dengungan, konten dan narasi yang dibuat tanpa ilmu itu justru membuat masyarakat menangkap pesan bahwa saat ini pemerintah sudah berhasil menjinakkan virus yang berasal dari China itu. Faktanya, masih tercipta klaster-klaster penyebaran baru, baik di tempat wisata hingga perkantoran milik pemerintah.
Gempita narasi bahwa orang yang terpapar Covid-19 akan sembuh dengan sendirinya membuat masyarakat abai. Di Bogor, Jawa Barat misalnya, kasus penyebaran korona meningkat cukup signifikan. Kluster penularan Covid-19 di keluarga melonjak. Ada sekitar 48 klaster keluarga dengan 189 kasus positif korona. Klaster keluarga juga memegang porsi 34,7% kasus Covid-19 di kota hujan itu. Sebagian besar yang terpapar di klaster keluarga adalah mereka yang lanjut usia dan anak-anak.
Survei sosial yang dilakukan oleh Dinkes Bogor menunjukkan hanya 15% warga Bogor yang percaya penyakit virus korona atau Covid-19 benar-benar ada. Sisanya mengaku tak percaya. Hal ini bisa jadi pemicu klaster keluarga semakin masif. Kondisi tersebut juga berpotensi menyebarkan Covid-19 ke daerah lain. Misalnya ke Ibukota, mengingat banyak warga Bogor yang menggunakan moda transportasi Commuter Line dan bekerja di Jakarta.
Kondisi di Bogor tersebut juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Masyarakat menganggap Covid-19 adalah virus biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya. Seolah tak paham bahwa Covid-19 berpotensi menjadi “pembunuh” apabila orang yang terpapar memiliki penyakit bawaan seperti gangguan jantung, diabetes, kanker dan penyakit lainnya.
Pemerintah daerah pun dibuat gagap saat mencoba mencegah warganya berbuat semaunya. Meskipun ada ancaman denda bagi yang melanggar protokol kesehatan, masyarakat tetap saja melakukan kegiatan seperti di waktu normal. Bahkan, sentra-sentra hiburan dan makanan kini sudah membuka usahanya hingga tengah malam.
Kebijakan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal pandemi Maret 2020 silam dengan pertimbangan agar perekonomian nasional masih bisa diselamatkan ternyata tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Perekonomian tetap porak poranda, dan wabah terus berlangsung dan semakin banyak masyarakat yang berduka cita.
Tambahan kasus konfirmasi positif Covid-19 melonjak mulai Juli 2020. Setiap harinya penambahan kasus konfirmasi positif bisa mencapai 2.000-3.000 kasus. Dalam dua bulan terakhir saja, yakni Juli-Agustus mencapai lebih dari 100 ribu kasus. Total kasus positif pada Juli sebanyak 51.991 kasus, Agustus 66.420 kasus. Jika dijumlahkan, dalam dua bulan terakhir kasus Covid-19 di Indonesia berjumlah 118.411.
Kini, pemerintah menegaskan fokus utama dalam penanganan pandemi tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat. Seolah kembali ke titik awal, narasi penanganan di sektor kesehatan yang baik menjadi kunci agar penanganan ekonomi yang berjalan beriringan dengannya juga dapat berjalan baik kembali dikemukakan.
Pemerintah seharusnya bisa membuktikan fokus dalam penanganan kesehatan tersebut dengan menerapkan karantina wilayah sesuai Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pemerintah, harus kembali membatasi gerak dan aktivitas penduduk, karena penularan terjadi akibat pertemuan antarorang. Selain karantina, pemerintah tetap perlu melakukan testing dan penelusuran kontak erat untuk menemukan kasus.
(ras)
tulis komentar anda