Pilkada yang Berbahaya
Selasa, 08 September 2020 - 06:45 WIB
Perilaku Kolektif
Jika kebijakan publik yang mengatur penyelenggaraan pilkada serentak 2020 ambigu dan tumpul ditambah kesadaran publik yang rendah, siap-siap saja pilkada akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Sangat mungkin hasil identifikasi KPU tentang adanya 37 kepala daerah yang positif Korona ini merupakan puncak gunung es. Dari mereka yang sudah teridenfikasi positif ini, berapa orang yang juga berpotensi terpapar sehingga membentuk mata rantai penularan. Sudah dipastikan dalam penyiapan mereka maju sebagai bakal calon pasangan kepala daerah arau wakil mereka kerap rapat, konsolidasi, bertemu dengan banyak orang untuk memastikan dukungan. Artinya, yang sudah teridentifikasi baru bakal pasangan calonnya, bagaimana dengan tim suksesnya, relawan ataupun warga biasa yang menjadi pendukung dan kerap berinteraksi dengan mereka.
Melihat lautan orang di berbagai panggung pemberian dukungan kepada pasangan calon di banyak daerah, dapat disimpulkan kesadaran publik akan bahaya virus korona sangatlah rendah. Satu hal perlu dicatat, bahwa kampanye dalam kontestasi elektoral biasa merangsang munculnya perilaku kolektif. Perilaku kolektif adalah cara berfikir, berperasaan, bertindak sekumpulan individu yang secara relatif bersifat spontan dan tidak terstruktur yang berkembang dalam suatu kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari saling stimulasi antar individu. Salah satu bentuk perilaku kolektif adalah kerumunan (crowd).
Suasana yang saling berhadap-hadapan dan kompetitif kerap menjadi pemantik perilaku kolektif menjadi-jadi atas dasar dukungan atau afiliasi politik dan membuncah di gelanggang kampanye. Menurut White Stephan dan Walter G Stephan di bukunya Two Social Psychologies (1990) menyebutkan proses terbentuknya perilaku kerumunan biasanya didahului oleh milling, yaitu proses komunikasi yang mengarah pada suatu pembentukan definisi situasi yang kemudian mengarah pada kemungkinan tindakan bersama. Dalam kerumunan orang mudah dipengaruhi (sugestible).
Situasi psikologis inilah yang harus dengan cermat dipahami oleh para kandidat dan tim suksesnya. Kerumunan yang mereka ciptakan akan membentuk perilaku kolektif tertentu. Jika pasangan calon dan timnya tertib atas protokol kesehatan, ditunjang dengan pengorganisasian kampanye yang juga sensitif penanggulangan pandemi Covid-19, tentunya akan turut berpengaruh pada kampanye sesuai protokol kesehatan. Sebaliknya jika para pasangan calonnya ugal-ugalan dalam berkampanye, maka akan menciptakan kampanye di lapangan yang tak mengindahkan penanggulangan Covid-19. Mereka yang bertarung memperebutkan kursi kepala daerah seharusnya sadar bahwa ujian kepemimpinan mereka dimulai sejak kampanye. Apakah mereka mengedepankan kesalamatan nyawa banyak orang, atau pongah dengan kepentingannya untuk tetap menabuh genderang kematian dan bergembira dengan perilaku ugal-ugalan.
Jika kebijakan publik yang mengatur penyelenggaraan pilkada serentak 2020 ambigu dan tumpul ditambah kesadaran publik yang rendah, siap-siap saja pilkada akan menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Sangat mungkin hasil identifikasi KPU tentang adanya 37 kepala daerah yang positif Korona ini merupakan puncak gunung es. Dari mereka yang sudah teridenfikasi positif ini, berapa orang yang juga berpotensi terpapar sehingga membentuk mata rantai penularan. Sudah dipastikan dalam penyiapan mereka maju sebagai bakal calon pasangan kepala daerah arau wakil mereka kerap rapat, konsolidasi, bertemu dengan banyak orang untuk memastikan dukungan. Artinya, yang sudah teridentifikasi baru bakal pasangan calonnya, bagaimana dengan tim suksesnya, relawan ataupun warga biasa yang menjadi pendukung dan kerap berinteraksi dengan mereka.
Melihat lautan orang di berbagai panggung pemberian dukungan kepada pasangan calon di banyak daerah, dapat disimpulkan kesadaran publik akan bahaya virus korona sangatlah rendah. Satu hal perlu dicatat, bahwa kampanye dalam kontestasi elektoral biasa merangsang munculnya perilaku kolektif. Perilaku kolektif adalah cara berfikir, berperasaan, bertindak sekumpulan individu yang secara relatif bersifat spontan dan tidak terstruktur yang berkembang dalam suatu kelompok atau suatu populasi sebagai akibat dari saling stimulasi antar individu. Salah satu bentuk perilaku kolektif adalah kerumunan (crowd).
Suasana yang saling berhadap-hadapan dan kompetitif kerap menjadi pemantik perilaku kolektif menjadi-jadi atas dasar dukungan atau afiliasi politik dan membuncah di gelanggang kampanye. Menurut White Stephan dan Walter G Stephan di bukunya Two Social Psychologies (1990) menyebutkan proses terbentuknya perilaku kerumunan biasanya didahului oleh milling, yaitu proses komunikasi yang mengarah pada suatu pembentukan definisi situasi yang kemudian mengarah pada kemungkinan tindakan bersama. Dalam kerumunan orang mudah dipengaruhi (sugestible).
Situasi psikologis inilah yang harus dengan cermat dipahami oleh para kandidat dan tim suksesnya. Kerumunan yang mereka ciptakan akan membentuk perilaku kolektif tertentu. Jika pasangan calon dan timnya tertib atas protokol kesehatan, ditunjang dengan pengorganisasian kampanye yang juga sensitif penanggulangan pandemi Covid-19, tentunya akan turut berpengaruh pada kampanye sesuai protokol kesehatan. Sebaliknya jika para pasangan calonnya ugal-ugalan dalam berkampanye, maka akan menciptakan kampanye di lapangan yang tak mengindahkan penanggulangan Covid-19. Mereka yang bertarung memperebutkan kursi kepala daerah seharusnya sadar bahwa ujian kepemimpinan mereka dimulai sejak kampanye. Apakah mereka mengedepankan kesalamatan nyawa banyak orang, atau pongah dengan kepentingannya untuk tetap menabuh genderang kematian dan bergembira dengan perilaku ugal-ugalan.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda