Hardikan dan Candaan: Ketika Komunikasi Menjadi Luka Psikologis
Rabu, 04 Desember 2024 - 13:29 WIB
Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos, MSI
Praktisi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia/ISKI Pusat
DI era digital saat ini, banyak konten mengangkat isu perundungan atau bullying, tidak hanya merujuk pada kekerasan fisik, tetapi juga bentuk verbal yang sering kali tersembunyi di balik candaan atau hardikan. Sayangnya, banyak yang menganggap ucapan seperti "hanya bercanda" sebagai hal sepele tanpa menyadari dampaknya yang mendalam pada psikologis penerimanya.
Beberapa kasus terkini menggambarkan betapa seriusnya dampak dari perundungan ini. Sepanjang tahun 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan 30 kasus perundungan di sekolah, meningkat dari tahun sebelumnya. Ironisnya, beberapa kasus berujung pada tragedi, seperti di Sukabumi dan Blitar, di mana korban kehilangan nyawa akibat perundungan yang tak tertahankan.
Dalam ajang Oscar 2022, komedian Chris Rock membuat candaan tentang penampilan Jada Pinkett Smith, istri Will Smith, yang mengalami alopecia (kondisi medis yang menyebabkan rambut rontok). Candaan ini memicu respons emosional dari Will Smith, yang secara spontan menampar Chris Rock di atas panggung. Walaupun reaksi fisik Will Smith mendapat banyak kritikan, namun simpati terhadap keluarganya karena candaan tersebut juga bermunculan karena candaan tersebut dianggap melukai secara personal.
Sebagai figur publik, komunikasi menjadi alat utama untuk membangun citra dan memengaruhi publik. Namun, bercanda dalam komunikasi bisa menjadi pedang bermata dua. Humor yang tidak tepat dapat merusak reputasi, menciptakan ketersinggungan, atau bahkan memicu konflik. Oleh karena itu, seorang public figure perlu memahami cara bercanda yang lentur, efektif, namun tetap menghormati orang lain.
Perundungan verbal—dengan hardikan, julukan kasar, atau candaan yang merendahkan—tidak kalah menyakitkan. Sebuah studi menunjukkan bahwa ucapan yang menyakitkan ini bisa meninggalkan luka psikologis yang mendalam, termasuk stres, kecemasan, depresi, bahkan penurunan kepercayaan diri.
Ketika seseorang mengatakan, "Ah, cuma bercanda," mereka sering kali mengabaikan dampak dari kata-kata tersebut pada penerima. Hardikan atau ejekan, meskipun tidak dimaksudkan untuk menyakiti, dapat diterima dengan cara yang berbeda oleh orang lain. Psikolog komunikasi menjelaskan bahwa setiap individu memiliki sensitivitas emosional yang unik. Kata-kata yang terdengar ringan bagi satu orang, bisa menjadi beban berat bagi yang lain.
Kasus di Cilacap dan Balikpapan menjadi contoh nyata betapa seriusnya perundungan verbal. Di Cilacap, seorang siswa SMP dianiaya secara fisik, namun akar masalahnya berawal dari ejekan verbal yang memicu konflik. Hal serupa terjadi di Balikpapan, di mana seorang anak dianiaya setelah menjadi bahan lelucon oleh teman sebayanya.
Dampak Psikologis yang Mengkhawatirkan Korban perundungan verbal sering kali merasa terisolasi, tidak berdaya, dan kehilangan rasa aman. Menurut data dari Journal of Social Science and Humanities, mereka cenderung mengalami gangguan mental seperti kecemasan kronis, depresi, hingga risiko bunuh diri. Efek ini tidak hanya memengaruhi keseharian mereka, tetapi juga prestasi akademik dan kemampuan sosial.
Praktisi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia/ISKI Pusat
DI era digital saat ini, banyak konten mengangkat isu perundungan atau bullying, tidak hanya merujuk pada kekerasan fisik, tetapi juga bentuk verbal yang sering kali tersembunyi di balik candaan atau hardikan. Sayangnya, banyak yang menganggap ucapan seperti "hanya bercanda" sebagai hal sepele tanpa menyadari dampaknya yang mendalam pada psikologis penerimanya.
Beberapa kasus terkini menggambarkan betapa seriusnya dampak dari perundungan ini. Sepanjang tahun 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan 30 kasus perundungan di sekolah, meningkat dari tahun sebelumnya. Ironisnya, beberapa kasus berujung pada tragedi, seperti di Sukabumi dan Blitar, di mana korban kehilangan nyawa akibat perundungan yang tak tertahankan.
Dalam ajang Oscar 2022, komedian Chris Rock membuat candaan tentang penampilan Jada Pinkett Smith, istri Will Smith, yang mengalami alopecia (kondisi medis yang menyebabkan rambut rontok). Candaan ini memicu respons emosional dari Will Smith, yang secara spontan menampar Chris Rock di atas panggung. Walaupun reaksi fisik Will Smith mendapat banyak kritikan, namun simpati terhadap keluarganya karena candaan tersebut juga bermunculan karena candaan tersebut dianggap melukai secara personal.
Sebagai figur publik, komunikasi menjadi alat utama untuk membangun citra dan memengaruhi publik. Namun, bercanda dalam komunikasi bisa menjadi pedang bermata dua. Humor yang tidak tepat dapat merusak reputasi, menciptakan ketersinggungan, atau bahkan memicu konflik. Oleh karena itu, seorang public figure perlu memahami cara bercanda yang lentur, efektif, namun tetap menghormati orang lain.
Perundungan verbal—dengan hardikan, julukan kasar, atau candaan yang merendahkan—tidak kalah menyakitkan. Sebuah studi menunjukkan bahwa ucapan yang menyakitkan ini bisa meninggalkan luka psikologis yang mendalam, termasuk stres, kecemasan, depresi, bahkan penurunan kepercayaan diri.
Ketika seseorang mengatakan, "Ah, cuma bercanda," mereka sering kali mengabaikan dampak dari kata-kata tersebut pada penerima. Hardikan atau ejekan, meskipun tidak dimaksudkan untuk menyakiti, dapat diterima dengan cara yang berbeda oleh orang lain. Psikolog komunikasi menjelaskan bahwa setiap individu memiliki sensitivitas emosional yang unik. Kata-kata yang terdengar ringan bagi satu orang, bisa menjadi beban berat bagi yang lain.
Kasus di Cilacap dan Balikpapan menjadi contoh nyata betapa seriusnya perundungan verbal. Di Cilacap, seorang siswa SMP dianiaya secara fisik, namun akar masalahnya berawal dari ejekan verbal yang memicu konflik. Hal serupa terjadi di Balikpapan, di mana seorang anak dianiaya setelah menjadi bahan lelucon oleh teman sebayanya.
Dampak Psikologis yang Mengkhawatirkan Korban perundungan verbal sering kali merasa terisolasi, tidak berdaya, dan kehilangan rasa aman. Menurut data dari Journal of Social Science and Humanities, mereka cenderung mengalami gangguan mental seperti kecemasan kronis, depresi, hingga risiko bunuh diri. Efek ini tidak hanya memengaruhi keseharian mereka, tetapi juga prestasi akademik dan kemampuan sosial.
Lihat Juga :
tulis komentar anda