Tren Politik Identitas Menurun, Bukti Politik di Indonesia Makin Dewasa
Rabu, 04 Desember 2024 - 13:27 WIB
JAKARTA - Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) Serentak 2024 telah berjalan dengan lancar, tertib, aman, dan damai. Meski dinamika sebelum coblosan tetap riuh dengan kampanye masing-masing pasangan calon (paslon), tapi penggunaan politik identitas relatif menurun.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan perhelatan Pilkada sebelumnya, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, yang penuh dengan politik identitas. Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat menilai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 seperti halnya Pilpres 2024, belum bisa sepenuhnya lepas dengan propaganda dan mobilisasi massa yang didasarkan pada politik identitas yang cenderung negatif, seperti penggunaan atribut dan istilah agama tertentu.
"Walaupun demikian penggunaan sentimen agama tidak terlalu kuat pada Pilkada kali ini, berbeda dengan beberapa perhelatan Pilkada sebelumnya. Misalnya, Pilkada DKI 2017 yang sangat kuat sekali mengambil isu-isu keagamaan dan ketika Pilpres 2019," kata Deden di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Pakar Ilmu Komunikasi ini juga menyoroti adanya pergeseran substansi narasi yang digunakan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Jika pada beberapa Pemilu sebelumnya begitu kencang hembusan politik identitas, sekarang isunya bergeser menjadi oligarki dan dinasti politik.
Ia menilai, menurunnya penggunaan narasi identitas politik dalam penyelenggaraan Pilkada adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi Indonesia, mengingat cara yang sama masih laku keras di belahan dunia lainnya, bahkan di negara maju sekali pun.
"Dalam konteks demokrasi di Indonesia, kita sudah melewati kurang lebih 26 tahun jika dihitung dari masa reformasi, yang berarti proses demokrasi kita bisa dikatakan sudah cukup matang. Saat ini, demokrasi kita juga sudah lebih inklusif, tapi dengan adanya media sosial dan digitalisasi informasi, setiap orang bisa bersuara melalui akunnya masing-masing. Ini yang perlu ditata ulang," kata Deden.
Penataan yang dimaksud, jelasnya, bukanlah dimaksudkan untuk menghilangkan hak dan kebebasan berpendapat, melainkan untuk mengatur adanya kewajiban yang harus dipatuhi dalam berpendapat di ruang publik. Selain itu, menurut Deden, kejelasan regulasi diperlukan untuk mengurangi potensi tersebarnya hate speech, hoax, dan black campaign. Semua itu harus diturunkan karena berpotensi memecah persatuan bangsa demi kepentingan segelintir orang.
"Di sinilah letak urgensi peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat. Dalam upaya ini, Pemerintah perlu didukung berbagai pihak, khususnya public figure atau bahkan influencer yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat," katanya.
Pilkada harus dirayakan dengan sukacita, bukan hanya saat kampanye, tapi juga ketika mengetahui hasil resmi dari KPUD masing-masing wilayah. Walaupun pemimpin yang terpilih itu berbeda agama dengan si pemilih, itu tetap hasil yang sah dan diakui oleh konstitusi negara Indonesia.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan perhelatan Pilkada sebelumnya, seperti Pilkada DKI Jakarta 2017, yang penuh dengan politik identitas. Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Deden Mauli Darajat menilai pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 seperti halnya Pilpres 2024, belum bisa sepenuhnya lepas dengan propaganda dan mobilisasi massa yang didasarkan pada politik identitas yang cenderung negatif, seperti penggunaan atribut dan istilah agama tertentu.
"Walaupun demikian penggunaan sentimen agama tidak terlalu kuat pada Pilkada kali ini, berbeda dengan beberapa perhelatan Pilkada sebelumnya. Misalnya, Pilkada DKI 2017 yang sangat kuat sekali mengambil isu-isu keagamaan dan ketika Pilpres 2019," kata Deden di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Pakar Ilmu Komunikasi ini juga menyoroti adanya pergeseran substansi narasi yang digunakan pihak yang berseberangan dengan Pemerintah. Jika pada beberapa Pemilu sebelumnya begitu kencang hembusan politik identitas, sekarang isunya bergeser menjadi oligarki dan dinasti politik.
Ia menilai, menurunnya penggunaan narasi identitas politik dalam penyelenggaraan Pilkada adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi Indonesia, mengingat cara yang sama masih laku keras di belahan dunia lainnya, bahkan di negara maju sekali pun.
"Dalam konteks demokrasi di Indonesia, kita sudah melewati kurang lebih 26 tahun jika dihitung dari masa reformasi, yang berarti proses demokrasi kita bisa dikatakan sudah cukup matang. Saat ini, demokrasi kita juga sudah lebih inklusif, tapi dengan adanya media sosial dan digitalisasi informasi, setiap orang bisa bersuara melalui akunnya masing-masing. Ini yang perlu ditata ulang," kata Deden.
Penataan yang dimaksud, jelasnya, bukanlah dimaksudkan untuk menghilangkan hak dan kebebasan berpendapat, melainkan untuk mengatur adanya kewajiban yang harus dipatuhi dalam berpendapat di ruang publik. Selain itu, menurut Deden, kejelasan regulasi diperlukan untuk mengurangi potensi tersebarnya hate speech, hoax, dan black campaign. Semua itu harus diturunkan karena berpotensi memecah persatuan bangsa demi kepentingan segelintir orang.
"Di sinilah letak urgensi peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat. Dalam upaya ini, Pemerintah perlu didukung berbagai pihak, khususnya public figure atau bahkan influencer yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat," katanya.
Pilkada harus dirayakan dengan sukacita, bukan hanya saat kampanye, tapi juga ketika mengetahui hasil resmi dari KPUD masing-masing wilayah. Walaupun pemimpin yang terpilih itu berbeda agama dengan si pemilih, itu tetap hasil yang sah dan diakui oleh konstitusi negara Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda