Persidangan Kasus Timah, Ahli Hukum Sebut Kerugian Negara Hanya Bisa Dihitung oleh BPK
Selasa, 26 November 2024 - 09:39 WIB
JAKARTA - Pakar hukum, Romli Atmasasmita mengkritisi metode penghitungan kerugian negara yang digunakan dalam kasus PT Timah Tbk. Menurutnya, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, penghitungan kerugian negara seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam undang-undang (UU). Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan. Namun, mengukur kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP, melainkan oleh ahli lingkungan," kata Romli Atmasasmita sebagai saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024). Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan lanjutan kasus PT Timah dengan terdakwa Tamron, Hasan tjhi, Ahmad albani, Buyung (kwan yung), selaku pihak swasta.
Romli juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menghapus istilah 'dapat' dalam frasa menimbulkan kerugian negara. MK menghapus kata 'dapat' dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) dan dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
"Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret," kata salah satu perancang UU Tipikor ini.
Dalam kasus timah, penggunaan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai bermasalah. Romli menyebut bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.
"BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini.
Laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih kasus ini menyasar pihak swasta yang merupakan partner kerja dari anak usaha BUMN tersebut.
"Bahasa saya, ini dipaksakan. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau di level direksi (PT Timah) ada pelanggaran wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian," ujarnya.
Sorotan lain datang dari tekanan publik terhadap moral hakim dalam menangani kasus ini. Romli menilai bahwa situasi ini menjadi tantangan berat, terutama bagi lembaga lembaga hakim penindak kasus tipikor. "Hakim sering dihadapkan pada dilema. Dibebasin salah, enggak dibebasin dosa ke atas kan. Kita lihat saja nanti masuk surga apa neraka dia," katanya.
"Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam undang-undang (UU). Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan. Namun, mengukur kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP, melainkan oleh ahli lingkungan," kata Romli Atmasasmita sebagai saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024). Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan lanjutan kasus PT Timah dengan terdakwa Tamron, Hasan tjhi, Ahmad albani, Buyung (kwan yung), selaku pihak swasta.
Romli juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menghapus istilah 'dapat' dalam frasa menimbulkan kerugian negara. MK menghapus kata 'dapat' dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) dan dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
"Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret," kata salah satu perancang UU Tipikor ini.
Dalam kasus timah, penggunaan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai bermasalah. Romli menyebut bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.
"BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini.
Laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih kasus ini menyasar pihak swasta yang merupakan partner kerja dari anak usaha BUMN tersebut.
"Bahasa saya, ini dipaksakan. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau di level direksi (PT Timah) ada pelanggaran wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian," ujarnya.
Sorotan lain datang dari tekanan publik terhadap moral hakim dalam menangani kasus ini. Romli menilai bahwa situasi ini menjadi tantangan berat, terutama bagi lembaga lembaga hakim penindak kasus tipikor. "Hakim sering dihadapkan pada dilema. Dibebasin salah, enggak dibebasin dosa ke atas kan. Kita lihat saja nanti masuk surga apa neraka dia," katanya.
(abd)
tulis komentar anda