Mereduksi Politisasi Agama dengan Pancasila dan Moderasi Beragama
Selasa, 26 November 2024 - 08:38 WIB
JAKARTA - Pilkada Serentak 2024 akan digelar, Rabu (27/11/2024) besok. Mirip dengan Pilpres 2024, berbagai dinamika demokrasi terjadi di masyarakat jelang Pilkada. Tak hanya perang kampanye positif, Pilkada juga diwarnai penyebaran narasi khilafah sebagai solusi alternatif bernegara di Indonesia.
Pakar Komunikasi Politik Hendri Satrio menilai gaung narasi khilafah yang tersebar di media sosial tidak sebesar dulu. Namun sepatutnya langkah-langkah inkonstitusional itu tidak dilakukan karena jelas khilafah bertentangan dengan ideologi Pancasila.
"Penurunan sebaran dari narasi khilafah ini berarti masyarakat Indonesia sudah semakin memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang memang harus diimplementasikan, sementara khilafah memang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia atau kehidupan bernegara bangsa Indonesia," kata Hendri dikutip, Selasa (26/11/2024).
Hensat, panggilan karib Hendri Satrio mengungkapkan, narasi khilafah yang kembali bermunculan di media sosial bertepatan dengan penyelenggaraan pemilihan umum biasanya menyasar golongan masyarakat tertentu. Pria yang pernah menulis buku berjudul 'Momentum: Karir, Politik, dan Aktivitas Media Sosial' menilai golongan masyarakat yang rentan disusupi propaganda radikal semacam ini adalah mereka yang belum sepenuhnya memahami kehidupan bernegara dengan berlandaskan Pancasila.
"Oleh karena itu, memang pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk terus-menerus menggaungkan kehidupan berlandaskan Pancasila. Pemerintah juga perlu mengajak para tokoh agama, alim ulama untuk terus-menerus menyadarkan kelompok masyarakat yang masih menginginkan khilafah hadir di Indonesia sebagai hal yang harus diubah. Pelibatan alim ulama dalam penyadaran kehidupan berPancasila itu penting, sehingga yang masih terpengaruh oleh narasi khilafah menjadi berkurang dan akhirnya tidak ada," katanya.
Menurutnya, penggunaan instrumen agama pada perhelatan politik memang bukanlah hal baru. Di Indonesia, masih mendapatkan tempat di beberapa golongan masyarakat karena semangat agama yang kuat tapi tidak dibarengi dengan literasi agama yang mumpuni. Hal ini mengakibatkan pemahaman agama sebatas tekstual tanpa mampu mendalami maksud dan tujuan turunnya suatu dalil keagamaan.
Hensat menilai konsep moderasi beragama yang selama ini diusung oleh Pemerintah Indonesia adalah cara yang efektif dalam menjembatani berbagai perbedaan masyarakat Indonesia. Menurutnya, moderasi beragama artinya saling menghormati agama lain dan kemudian bertoleransi terhadap ajaran-ajarannya tapi tetap berlandaskan Pancasila, terutama sila pertama ketuhanan yang Maha Esa.
"Tanpa ada kesadaran untuk menjalankan moderasi beragama, Indonesia yang memang beraneka ragam suku, bangsa, dan agamanya ini menjadi sulit untuk dipertahankan. Maka dari itu moderasi beragama adalah hal utama yang harus dimengerti oleh seluruh masyarakat Indonesia," kata akademisi Universitas Paramadina ini.
Ia menguraikan narasi dan propaganda ideologi transnasional seperti seruan khilafah bisa mendapatkan tempat karena masih ada ketimpangan sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Jika ingin benar-benar menghilangkan propaganda yang merusak stabilitas nasional, tidak ada cara yang lebih efektif dibandingkan dengan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Pakar Komunikasi Politik Hendri Satrio menilai gaung narasi khilafah yang tersebar di media sosial tidak sebesar dulu. Namun sepatutnya langkah-langkah inkonstitusional itu tidak dilakukan karena jelas khilafah bertentangan dengan ideologi Pancasila.
"Penurunan sebaran dari narasi khilafah ini berarti masyarakat Indonesia sudah semakin memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang memang harus diimplementasikan, sementara khilafah memang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia atau kehidupan bernegara bangsa Indonesia," kata Hendri dikutip, Selasa (26/11/2024).
Hensat, panggilan karib Hendri Satrio mengungkapkan, narasi khilafah yang kembali bermunculan di media sosial bertepatan dengan penyelenggaraan pemilihan umum biasanya menyasar golongan masyarakat tertentu. Pria yang pernah menulis buku berjudul 'Momentum: Karir, Politik, dan Aktivitas Media Sosial' menilai golongan masyarakat yang rentan disusupi propaganda radikal semacam ini adalah mereka yang belum sepenuhnya memahami kehidupan bernegara dengan berlandaskan Pancasila.
"Oleh karena itu, memang pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk terus-menerus menggaungkan kehidupan berlandaskan Pancasila. Pemerintah juga perlu mengajak para tokoh agama, alim ulama untuk terus-menerus menyadarkan kelompok masyarakat yang masih menginginkan khilafah hadir di Indonesia sebagai hal yang harus diubah. Pelibatan alim ulama dalam penyadaran kehidupan berPancasila itu penting, sehingga yang masih terpengaruh oleh narasi khilafah menjadi berkurang dan akhirnya tidak ada," katanya.
Menurutnya, penggunaan instrumen agama pada perhelatan politik memang bukanlah hal baru. Di Indonesia, masih mendapatkan tempat di beberapa golongan masyarakat karena semangat agama yang kuat tapi tidak dibarengi dengan literasi agama yang mumpuni. Hal ini mengakibatkan pemahaman agama sebatas tekstual tanpa mampu mendalami maksud dan tujuan turunnya suatu dalil keagamaan.
Hensat menilai konsep moderasi beragama yang selama ini diusung oleh Pemerintah Indonesia adalah cara yang efektif dalam menjembatani berbagai perbedaan masyarakat Indonesia. Menurutnya, moderasi beragama artinya saling menghormati agama lain dan kemudian bertoleransi terhadap ajaran-ajarannya tapi tetap berlandaskan Pancasila, terutama sila pertama ketuhanan yang Maha Esa.
"Tanpa ada kesadaran untuk menjalankan moderasi beragama, Indonesia yang memang beraneka ragam suku, bangsa, dan agamanya ini menjadi sulit untuk dipertahankan. Maka dari itu moderasi beragama adalah hal utama yang harus dimengerti oleh seluruh masyarakat Indonesia," kata akademisi Universitas Paramadina ini.
Ia menguraikan narasi dan propaganda ideologi transnasional seperti seruan khilafah bisa mendapatkan tempat karena masih ada ketimpangan sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Jika ingin benar-benar menghilangkan propaganda yang merusak stabilitas nasional, tidak ada cara yang lebih efektif dibandingkan dengan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda