Akademisi Fakultas Hukum UI Ungkap Hambatan Perkembangan Industri Otomotif
Jum'at, 08 November 2024 - 14:04 WIB
JAKARTA - Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menggelar The 6th International Conference on Law and Governance in a Global Context (icLave) 2024. Konferensi ini mengangkat sejumlah isu penting terkait hukum dan kebijakan publik internasional, salah satunya mengenai hambatan yang dihadapi industri otomotif Tanah Air.
Dalam konferensi tersebut, Dosen FEB Universitas Indonesia Mone Stepanus; Dosen Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan (UPH) Dian Parluhutan; dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta Guntur Saragih, memaparkan kajian ilmiah terkait apa saja yang menghambat industri otomotif. Salah satu pokoknya terkait perjanjian eksklusivitas.
"Penting bagi kami mengangkat perjanjian ekskluvitas ini dalam forum internasional untuk menunjukkan kondisi persaingan usaha di Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," kata Mone Stepanus dalam keterangannya, Jumat (8/11/2024).
Jika perjanjian tersebut masih diterapkan, menurut Mone, risikonya adalah kurang kondusifnya iklim persaingan usaha dan mungkin saja menghalangi pemain baru untuk berinvestasi dan memasuki pasar otomotif di Indonesia.
Industri otomotif di Indonesia didominasi oleh lima produsen besar, yakni Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi Motors. Mereka telah menguasai 82,3% dari total produksi nasional. Mone menjelaskan, industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan.
"Ada berbagai kondisi telah memicu penerapan praktik monopoli atau oligopoli, baik melalui perjanjian vertikal maupun horizontal antar produsen," ujarnya.
Mone menyebutkan bukan hal yang aneh bagi produsen mobil untuk terlibat dalam perjanjian horizontal maupun vertikal dengan tujuan untuk mendominasi pasar.
"Perjanjian vertikal merupakan perjanjian yang dibuat oleh perusahaan induk berdasarkan tempat asal, seperti Toyota dari Jepang, yang membuat perjanjian dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia, yaitu PT Astra International," katanya.
Selain itu, juga ada fenomena agen tunggal pemegang merek (ATPM) mengadakan perjanjian eksklusivitas dengan dealer di bawahnya. Menurutnya, ini salah satu trik untuk untuk meningkatkan volume penjualan mobil tertentu. "Di sisi lain ada yang perlu diwaspadai, karena perjanjian eksklusivitas ini membuat dealer susah untuk mengembangkan bisnisnya," ucapnya.
Dalam konferensi tersebut, Dosen FEB Universitas Indonesia Mone Stepanus; Dosen Hukum Persaingan Usaha Universitas Pelita Harapan (UPH) Dian Parluhutan; dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta Guntur Saragih, memaparkan kajian ilmiah terkait apa saja yang menghambat industri otomotif. Salah satu pokoknya terkait perjanjian eksklusivitas.
"Penting bagi kami mengangkat perjanjian ekskluvitas ini dalam forum internasional untuk menunjukkan kondisi persaingan usaha di Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," kata Mone Stepanus dalam keterangannya, Jumat (8/11/2024).
Jika perjanjian tersebut masih diterapkan, menurut Mone, risikonya adalah kurang kondusifnya iklim persaingan usaha dan mungkin saja menghalangi pemain baru untuk berinvestasi dan memasuki pasar otomotif di Indonesia.
Industri otomotif di Indonesia didominasi oleh lima produsen besar, yakni Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki, dan Mitsubishi Motors. Mereka telah menguasai 82,3% dari total produksi nasional. Mone menjelaskan, industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan.
"Ada berbagai kondisi telah memicu penerapan praktik monopoli atau oligopoli, baik melalui perjanjian vertikal maupun horizontal antar produsen," ujarnya.
Mone menyebutkan bukan hal yang aneh bagi produsen mobil untuk terlibat dalam perjanjian horizontal maupun vertikal dengan tujuan untuk mendominasi pasar.
"Perjanjian vertikal merupakan perjanjian yang dibuat oleh perusahaan induk berdasarkan tempat asal, seperti Toyota dari Jepang, yang membuat perjanjian dengan agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia, yaitu PT Astra International," katanya.
Selain itu, juga ada fenomena agen tunggal pemegang merek (ATPM) mengadakan perjanjian eksklusivitas dengan dealer di bawahnya. Menurutnya, ini salah satu trik untuk untuk meningkatkan volume penjualan mobil tertentu. "Di sisi lain ada yang perlu diwaspadai, karena perjanjian eksklusivitas ini membuat dealer susah untuk mengembangkan bisnisnya," ucapnya.
tulis komentar anda