Baleg DPR Dukung Revisi Undang-Undang Pengumpulan Uang atau Barang

Rabu, 06 November 2024 - 15:59 WIB
Baleg DPR dukung revisi Undang-Undang Pengumpulan Uang atau Barang. Foto/Ilustrasi/Dok SINDO
JAKARTA - Badan Legislasi ( Baleg ) DPR RI mendukung usulan revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Undang-undang ini dinilai sudah usang dan tidak bisa diterapkan dalam mengatur kegiatan filantropi (kedermawanan sosial), khususnya kegiatan penggalangan, pengelolaan dan penyaluran sumbangan.

Revisi undang-undang ini mendesak dilakukan agar filantropi bisa berkontribusi optimal dalam mendukung berbagai program pemerintah yang membutuhkan sumber daya dan dana dalam jumlah besar.

Dukungan Baleg DPR disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan di Gedung DPR, Selasa (5/11/2024). Di forum tersebut, Aliansi menyampaikan urgensi revisi UU PUB yang dinilai menghambat hak dan partisipasi warga untuk mendukung pemerintah dalam mengatasi masalah sosial melalui kegiatan filantropi. Pada kesempatan yang sama, Aliansi juga menyerahkan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan yang diusulkan sebagai pengganti UU PUB.



Selain dihadiri anggota Baleg DPR, RDPU juga diikuti oleh perwakilan Aliansi, seperti Dompet Dhuafa, Yappika, Yayasan Penabulu, Human Initiatif, Filantropi Indonesia, dan IJRS (Indonesia Judicial Research Society).



Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan Hamid Abidin menyampaikan bahwa filantropi yang saat ini tengah berkembang pesat berpotensi sebagai sumber daya alternatif untuk mendukung program-program pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran, seperti program ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi, sampai mitigasi perubahan iklim dan peletarian lingkungan. Namun, dukungan itu terhambat oleh UU PUB yang bersifat restriktif dan dan menghambat perkembangan filantropi.

"Persyaratan yang rumit dan perizinan berjenjang yang diberlakukan dalam UU PUB justru merugikan pemerintah karena menghambat hak warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui sumbangan dan bantuan sosial yang bisa diberikan," katanya.

Hamid mencontohkan, ketentuan perizinan dalam UU PUB menghambat lembaga-lembaga filantropi untuk bergerak cepat dalam penanganan bencana karena pengurusan perijinan memakan waktu lama. Regulasi ini juga berpotensi mengkriminalisasi pegiat filantropi yang membantu korban bencana tersebut. Durasi perizinan yang hanya berlaku 3 bulan juga tidak memungkinkan lembaga filantropi mendukung program-program jangka panjang karena mereka harus menyerahkan laporan program saat mengurus izin yang baru.

"Berbagai ketentuan dalam UU PUB ini juga tidak mampu mewadahi keragaman pelaku dan jenis kegiatan filantropi, serta perkembangan kegiatan filantropi di era digital. Selain itu, UU PUB juga tidak memberikan insentif yang memadai kepada donatur dan lembaga penyelenggara sumbangan dalam bentuk penghargaan, pengembangan kapasitas atau pengurangan pajak (tax dection)," ujarnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More