Sinta Nuriyah Harap Pencabutan TAP MPR II/2001 tentang Gus Dur Bukan Basa-basi Politik
Senin, 30 September 2024 - 10:13 WIB
JAKARTA - Istri Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Sinta Nuriyah berharap pencabutan Ketetapan (TAP) MPR Nomor II Tahun 2001 tentang pertanggungjawaban Gus Dur bukan sekadar basa-basi politik. Sinta berharap rekonsiliasi harus berdasarkan prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan.
Sebelumnya, MPR telah mencabut TAP MPR II/ 2001 tentang pertanggungjawaban Gus Dur, pada Rabu, 25 September 2024. “Pertama-tama izinkan kami keluarga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menyampaikan apresiasi atas langkah MPR untuk mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Selama ini TAP MPR tersebut menjadi ganjalan besar bagi kami keluarga Gus Dur dan masyarakat Indonesia lainnya,” kata Sinta, Senin (30/9/2024).
Sinta mengatakan TAP MPR tersebut telah menjadi keputusan yang seolah menempatkan Gus Dur sebagai seorang pelanggar konstitusi tanpa kami bisa melakukan banding. “Seperti tali mati yang tak pernah bisa kami buka simpulnya. Beban yang perlu kami panggul sampai hari ini,” katanya.
Sinta juga berharap, dengan pencabutan TAP MPR No II/MPR/2001 dapat menjadi langkah awal sebuah landasan hukum yang lebih mengikat bagi kepentingan rehabilitasi nama baik Gus Dur ke depannya nanti.
“Kami paham pencabutan TAP MPR tersebut bersama dengan TAP-TAP MPR yang menjerat Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dimaksudkan sebagai langkah untuk melakukan rekonsiliasi nasional, sesuatu yang diperjuangkan pula oleh Gus Dur ketika memimpin bangsa hingga akhir hayatnya. Namun, kami berpandangan bahwa rekonsiliasi tetap harus berdasar prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan, bukan sekadar basa-basi politik semata,” tegasnya.
Menurut Sinta, rekonsiliasi ini dapat berjalan sebagaimana terjadi di Afrika Selatan semasa Nelson Mandela maupun yang terjadi di Timor Leste pascakemerdekaan. “Maka kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati.”
Dalam konteks Gus Dur, kata Sinta, perlu ada pelurusan sejarah bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Apalagi, banyak ahli hukum tata negara yang bisa bersaksi bahwa Gus Dur telah mengalami apa yang dinamakan sebagai kudeta parlementer.
“Sebuah kerancuan proses politik, mengingat Indonesia tidak menganut sistem demokrasi parlementer namun menganut sistem presidensial. Berbagai tuduhan dialamatkan kepada Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak, dan sampai detik ini, tidak ada satupun dari tuduhan tersebut terbukti,” katanya.
Sinta mengatakan, bagi keluarga yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi. “Semua orang yang mengenal Gus Dur dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur.”
“Sampai akhir hayatnya Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda. Lebih ironis, Gus Dur juga telah dijatuhkan karena dianggap tidak patuh pada MPR karena hendak mengangkat kapolrinya sendiri, kewenangan yang menjadi ranah dari kekuasaan eksekutif, dan saat itu hendak dicampuri oleh ranah legislatif. Anomali dalam berdemokrasi inilah yang perlu dikoreksi secara total,” ujar Sinta.
Sinta menegaskan dari pihak keluarga Gus Dur tidak pernah menyimpan dendam terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan. “Namun, keluarga Gus Dur berpendapat, penting bagi negara untuk meluruskan sejarah, agar seluruh bangsa bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” katanya.
Sebelumnya, MPR telah mencabut TAP MPR II/ 2001 tentang pertanggungjawaban Gus Dur, pada Rabu, 25 September 2024. “Pertama-tama izinkan kami keluarga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menyampaikan apresiasi atas langkah MPR untuk mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Selama ini TAP MPR tersebut menjadi ganjalan besar bagi kami keluarga Gus Dur dan masyarakat Indonesia lainnya,” kata Sinta, Senin (30/9/2024).
Sinta mengatakan TAP MPR tersebut telah menjadi keputusan yang seolah menempatkan Gus Dur sebagai seorang pelanggar konstitusi tanpa kami bisa melakukan banding. “Seperti tali mati yang tak pernah bisa kami buka simpulnya. Beban yang perlu kami panggul sampai hari ini,” katanya.
Sinta juga berharap, dengan pencabutan TAP MPR No II/MPR/2001 dapat menjadi langkah awal sebuah landasan hukum yang lebih mengikat bagi kepentingan rehabilitasi nama baik Gus Dur ke depannya nanti.
“Kami paham pencabutan TAP MPR tersebut bersama dengan TAP-TAP MPR yang menjerat Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dimaksudkan sebagai langkah untuk melakukan rekonsiliasi nasional, sesuatu yang diperjuangkan pula oleh Gus Dur ketika memimpin bangsa hingga akhir hayatnya. Namun, kami berpandangan bahwa rekonsiliasi tetap harus berdasar prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan, bukan sekadar basa-basi politik semata,” tegasnya.
Menurut Sinta, rekonsiliasi ini dapat berjalan sebagaimana terjadi di Afrika Selatan semasa Nelson Mandela maupun yang terjadi di Timor Leste pascakemerdekaan. “Maka kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati.”
Dalam konteks Gus Dur, kata Sinta, perlu ada pelurusan sejarah bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Apalagi, banyak ahli hukum tata negara yang bisa bersaksi bahwa Gus Dur telah mengalami apa yang dinamakan sebagai kudeta parlementer.
“Sebuah kerancuan proses politik, mengingat Indonesia tidak menganut sistem demokrasi parlementer namun menganut sistem presidensial. Berbagai tuduhan dialamatkan kepada Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak, dan sampai detik ini, tidak ada satupun dari tuduhan tersebut terbukti,” katanya.
Sinta mengatakan, bagi keluarga yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi. “Semua orang yang mengenal Gus Dur dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur.”
“Sampai akhir hayatnya Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda. Lebih ironis, Gus Dur juga telah dijatuhkan karena dianggap tidak patuh pada MPR karena hendak mengangkat kapolrinya sendiri, kewenangan yang menjadi ranah dari kekuasaan eksekutif, dan saat itu hendak dicampuri oleh ranah legislatif. Anomali dalam berdemokrasi inilah yang perlu dikoreksi secara total,” ujar Sinta.
Sinta menegaskan dari pihak keluarga Gus Dur tidak pernah menyimpan dendam terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan. “Namun, keluarga Gus Dur berpendapat, penting bagi negara untuk meluruskan sejarah, agar seluruh bangsa bisa belajar dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” katanya.
(cip)
tulis komentar anda