Perkuat Daya Saing Industri Pertahanan lewat Pembentukan Holding
Rabu, 26 Agustus 2020 - 20:10 WIB
"Keputusan entah membeli sesuatu alutsista baru dengan teknologi tertentu ataupun alustsita bekas, diakibatkan kebutuhan mutlak dan segera. Saya yakin menhan punya dasar kuat, misal segera untuk membeli alutsista," kata Agus yang baru saja meluncurkan buku 'Ekonomi PertahananMenghadapi Perang Generasi Keenam'bulan Juli 2020 lalu.
Agus menyinggung tentang belanja militer yang saat ini menjadi efek gentarsebagai bentuk kekuatan pertahanan yang berfungsi sebagai daya penggetar. Sedangkan strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran.
Agus mengatakan, strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan punya efek gentar. Alhasil, kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatunegara untuk menghindari dan memengaruhi perilaku negara lain.
"Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, kekerasan harus diantisipasi dan dihindari lewat diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagaidaya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil, apabila kekuatan tidak digunakan," kata Agus.
Berbeda dengan Agus, Ketua Harian Pinhantanas Mayjen Purn Jan Pieter Ate mengkritik langkah Menhan yang berencana membeli alutsista bekas. Menurut dia, jika kebijakan lebih memprioritaskan membeli alutsista bekas maka pertahanan Indonesia semakin tertinggal.
Dia menyoroti, pembelian Typhoon yang diproduksi belasan tahun lalu, dan di negaranya sudah tidak dipakai, malah akan digunakan untuk memperkuat TNI. Jika hal itu terjadi maka kekuatan TNI bisa dipertanyakan.
"Indonesia kok beli bekas terus, beli teknologi yang baru, supaya indhan kita itu bisa catch up. Jadi kita bicara kita generasi keenam, stealth, big data, musuhmu itu nanti bukan lawan barang bekas, tapi datang bawa teknoogi terbaru," kata Ate dengan menggebu-gebu.
Ate juga menyunggung tentang konsep minimum essential force (MEF) yang harus diganti karena tidak relevan lagi. Menurut dia, MEF merupakan konsep pertahanan yang tidak merepresentasikan Indonesia sebagai bangsa besar.
Menurut dia, konsep MEF dengan rencana strategis (renstra) 2010-2014 dan 2015-2019 menghasilkan pemenuhan fisik baru tercapai 63,19 persen dan kesiapan alutsista hanya 58,37 persen.
Ate menyebut, angka itu menunjukkan ada kesenjangan kesiapan pemenuhan dan penggunaan alutsita TNI mencapai 41%. "Sampai sekarang MEF belum memenuhi kebutuhan kita. Kita negara G-20. Tinggalkan MEF, kita susun kembali pertahanan negara besar. Nah gitu dunk,"kata Ate mendukung agar Kemhan tidak lagi menggunakan MEF sebagai dasar pembelian dan produksi alutsista TNI.
Agus menyinggung tentang belanja militer yang saat ini menjadi efek gentarsebagai bentuk kekuatan pertahanan yang berfungsi sebagai daya penggetar. Sedangkan strategi militer tidak bisa lagi dijadikan standar kemenangan pertempuran.
Agus mengatakan, strategi militer saat ini lebih mengarah ke seni koersif atau intimidasi dan punya efek gentar. Alhasil, kemampuan untuk menghancurkan negara lain bisa dijadikan motivasi bagi suatunegara untuk menghindari dan memengaruhi perilaku negara lain.
"Untuk bersikap koersif atau mencegah negara lain menyerang negara tersebut, kekerasan harus diantisipasi dan dihindari lewat diplomasi. Kemampuan penggunaan kekuasaan untuk bertempur sebagaidaya tawar, adalah dasar dari teori deterensi, dan dikatakan berhasil, apabila kekuatan tidak digunakan," kata Agus.
Berbeda dengan Agus, Ketua Harian Pinhantanas Mayjen Purn Jan Pieter Ate mengkritik langkah Menhan yang berencana membeli alutsista bekas. Menurut dia, jika kebijakan lebih memprioritaskan membeli alutsista bekas maka pertahanan Indonesia semakin tertinggal.
Dia menyoroti, pembelian Typhoon yang diproduksi belasan tahun lalu, dan di negaranya sudah tidak dipakai, malah akan digunakan untuk memperkuat TNI. Jika hal itu terjadi maka kekuatan TNI bisa dipertanyakan.
"Indonesia kok beli bekas terus, beli teknologi yang baru, supaya indhan kita itu bisa catch up. Jadi kita bicara kita generasi keenam, stealth, big data, musuhmu itu nanti bukan lawan barang bekas, tapi datang bawa teknoogi terbaru," kata Ate dengan menggebu-gebu.
Ate juga menyunggung tentang konsep minimum essential force (MEF) yang harus diganti karena tidak relevan lagi. Menurut dia, MEF merupakan konsep pertahanan yang tidak merepresentasikan Indonesia sebagai bangsa besar.
Menurut dia, konsep MEF dengan rencana strategis (renstra) 2010-2014 dan 2015-2019 menghasilkan pemenuhan fisik baru tercapai 63,19 persen dan kesiapan alutsista hanya 58,37 persen.
Ate menyebut, angka itu menunjukkan ada kesenjangan kesiapan pemenuhan dan penggunaan alutsita TNI mencapai 41%. "Sampai sekarang MEF belum memenuhi kebutuhan kita. Kita negara G-20. Tinggalkan MEF, kita susun kembali pertahanan negara besar. Nah gitu dunk,"kata Ate mendukung agar Kemhan tidak lagi menggunakan MEF sebagai dasar pembelian dan produksi alutsista TNI.
Lihat Juga :
tulis komentar anda