Kunjungan Paus Fransiskus Momentum Wujudkan Kerukunan Antarumat Beragama

Kamis, 05 September 2024 - 19:37 WIB
Presiden Jokowi menyambut langsung kedatangan Yang Teramat Mulia Bapa Suci Paus Fransiskus dalam Misa Suci di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada Kamis (5/9/2024). FOTO/SETPRES
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia, Paus Fransiskus mengunjungi Indonesia, 3-6 September 2024. Dalam kunjungannya, Paus ke-266 dari Vatikan ini menyampaikan pesan-pesan keimanan dan perdamaian, yang diharapkan dapat menguatkan rasa persahabatan yang telah terjalin antarumat beragama di Indonesia.

Guru Besar Bidang Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Prof Sahiron Syamsuddin menjelaskan, kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia memiliki urgensi bagi banyak pihak. Hal ini dapat berdampak positif pada persahabatan dan kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya bagi umat Katolik dan Islam.

"Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia sangat penting untuk memperkuat toleransi dan harmoni antarumat beragama. Paus Fransiskus sangat concerned terhadap isu-isu kemanusian, keadilan dan perdamaian," kata Prof Sahiron, Kamis (5/9/2024).



Ia menguraikan kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia juga bisa diartikan sebagai bentuk perhatian dan apresiasi umat Katolik di seluruh dunia pada keberhasilan Indonesia dalam mengelola toleransi antarumat beragama. Wujud perhatian ini diharapkan dapat dikelola dengan baik oleh Indonesia, sehingga dapat menjadi percontohan bagi dunia Internasional bahwa kemajemukan dapat dinaungi dengan baik melalui Pancasila dan UUD 1945.

Perdamaian yang telah terjalin lama di Indonesia, menurut Prof Sahiron, terkadang mendapatkan gangguan dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan konflik antarumat beragama. Tanpa terkecuali, pemeluk agama Islam dan Kristen di Indonesia sempat beberapa kali terjebak dalam konflik yang sifatnya primordial dan cenderung tidak substansial. Padahal, penyebab konflik biasanya diawali dari hal yang sepele, namun karena kurangnya komunikasi yang efektif dari kedua belah pihak, masalah kian menajam.

"Konflik-konflik yang pernah terjadi Indonesia yang melibatkan umat-umat beragama, khususnya Islam dan Kristen, itu muncul bukan karena ajaran agama masing-masing, tetapi karena faktor politik dan ketidakadilan. Kita semua tentu berharap agar konflik-konflik serupa tidak terjadi lagi," katanya.

Selain itu, pengajar du Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini berpendapat bahwa perbedaan keyakinan sebenarnya tidak menjadi penghalang bagi mereka yang berbeda keimanan dalam berbuat kebaikan. Menurutnya, semua agama yang ada mengajarkan kebaikan dan persatuan antar manusia, sehingga manusia seharusnya mampu saling menghormati dan toleransi. Jika masih ada manusia yang berbuat sebaliknya, yakni menyebarkan perpecahan dan permusuhan, maka bisa disimpulkan bahwa dia belum memahami agamanya dengan benar.

"Perbedaan agama, keyakinan dan aliran bukan merupakan faktor penyebab konflik, karena semua agama mengajarkan persatuan antarumat manusia, saling menghormati dan bertoleransi. Kalau pun ada teks-teks agama yang mengindikasikan sebaliknya, maka teks-teks itu harus dipahami secara baik dan benar. Penafsiran kontekstual perlu diutamakan dengan memperhatikan konteks turunnya teks-teks keagamaan dalam konteks kekinian," katanya.

Terkait hubungan lintas keimanan dan dampaknya terhadap stabilitas nasional, Prof Sahiron menilai hal itu berkorelasi secara langsung. Sebabnya, dengan rukunnya antarumat beragama di Indonesia, maka rakyatnya tidak mudah dipecah belah oleh isu-isu yang sifatnya temporer dan politis. "Hubungan lintas keimanan yang baik memberi dampak yang sangat positif pada stabilitas nasional,” imbuhnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More