Etika Penyelenggara Negara Rapuh Akibat Kaderisasi Pemimpin Tak Berjalan

Selasa, 03 September 2024 - 11:07 WIB
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Arifin menyebut etika penyelenggara negara rapuh akibat kaderisasi pemimpin tak berjalan. Foto/istimewa
JAKARTA - Kerapuhan etika penyelenggara negara disebabkan karena proses kaderisasi pemimpin yang tidak berjalan. Banyak pemimpin yang muncul sekarang tidak melalui proses alami, muncul tiba-tiba hasil rekayasa politik.

Demikian disampaikan Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang Syamsul Arifin dalam diskusi bertajuk “Kerapuhaan Etika Penyelenggara Negara: Etika Sosial dan Pendidikan” yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Negeri Malang, Jawa Timur.

Menurutnya, banyak pemimpin yang muncul tidak melalui proses alami, melainkan hasil rekayasa politik. Hal ini menyebabkan level kepemimpinannya dipertanyakan.





“Pemimpin yang sebenarnya diproyeksikan untuk mengambil alih peran dan menjaga, dan mengatur dengan kemampuannya. Akan tetapi, saat ini faktanya banyak orang yang datang secara tiba-tiba dengan adanya rekayasa dan kemudian diusulkan menjadi pemimpin,” katanya, Selasa (3/9/2024).

Menurutnya fenomena ini mengonfirmasi pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln yang menyebut karakter seseorang bisa dilihat saat diberi kekuasaan. Pergeseran paradigma kemunculan pemimpin ini menunjukkan adanya pengaruh negatif kekuasaan terhadap etik. “Kekuasaan memiliki sifat adiktif dan potensi merusak (corruptible),” ujarnya.



Direktur Eksekutif Pusat Studi Budaya dan Perubahan Universitas Muhammadiyah Surakarta Yayah Khisbiyah. Menurutnya adanya kerapuhan etika berkaitan dengan rendahnya tingkat empati Masyarakat di Indonesia.

Hal itu dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada 2007 dan 2017 terhadap 4 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Jerman, dan Israel. Penelitian yang melibatkan anak usia Taman Kanak-Kanak (TK) itu menunjukkan, Indonesia berada di barisan bawah, bahkan di bawah Malaysia. “Rendahnya empati ini berkaitan dengan Korupsi terjadi disemua lini di Indonesia,” ujarnya.

Rendahnya empati dan maraknya kasus korupsi, lanjut Yayah, juga berkaitan dengan teori psikologi bernama dari triad. Teori itu mengidentifikasi individu dengan tiga sifat kegelapan, yaitu narsisme, perilaku manipulatif, dan sifat psikopat yang berkaitan dengan lemahnya empati.

Bersama dengan BPIP, Yayah sempat membuat model pembelajaran Pancasila yang lebih aplikatif untuk perguruan tinggi agar mengurangi permasalahan etika tersebut.

“Pendidikan Pancasila pada era sekarang harus dilakukan oleh dengan pendekatan yang mudah diakses dan tidak membosankan khususnya berfokus pada revolusi mental. Perguruan tinggi banyak yang berminat dengan pendekatan ini,” ujarnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More