Senator Filep Dorong BPK Audit Cost Recovery LNG Tangguh, Pupuk Kaltim, hingga Dana Otsus
Jum'at, 05 Juli 2024 - 01:02 WIB
“Tak hanya itu, salah satu klaim BP Tangguh soal CSR ialah pemberdayaan ekonomi masyarakat asli Bintuni lewat pendirian 4 perusahaan berbendera Subitu yakni 1) PT. Subitu Karya Busana (SKB); 2) PT. Subitu Inti Konsultan (SIK); 3) PT. Subitu Karya Teknik (SKT) dan 4) PT. Subitu Trans Maritim (STM). Berdasarkan hasil advokasi kami, diketahui dari sekian banyak program, program Subitu yang paling menonjol karena menyedot anggaran cukup besar, melibatkan banyak mitra kerja, (Unipa, Ikopin, Pupuk, Yayasan Satu Nama, Yayasan Matsushita),” ungkapnya.
“Namun pada kenyataannya, untuk PT SBK belum pernah ada audit menyeluruh, ada dugaan kerugian, dan perusahaan ini diduga non-feasible. Selanjutnya, PT SKT bahkan diduga sudah tutup. Berdasarkan kondisi yang demikian, patut dipertanyakan mengenai proses pengaturan deviden apabila PT SKT mendapat untung, dan pertanggungjawabannya diberikan kepada siapa mengingat selama ini kontribusi dari PT SKT tidak dirasakan oleh masyarakat Teluk Bintuni. Mengenai PT SIK, terdapat kontradiksi di sana karena perusahaan jasa tersebut tidak memiliki pasar tetap sehingga sangat berat untuk bersaing,” kata Filep.
Dia juga menyinggung PT STM di mana terdapat 3 armada kapal yang diluncurkan pada tahun 2018. Namun, ditemukan fakta bahwa ketiga kapal terbukti tidak sesuai dengan spesifikasi sebagaimana penjelasan pihak pembuat kapal dan kini tidak digunakan. Ketiga armada ini diperkirakan menelan biaya sekitar Rp5 miliar belum dengan biaya mobilisasi dari Jakarta, biaya perjalanan tim ke lokasi pabrik dan biaya lain-lain.
Berangkat dari berbagai temuan di atas dan implementasi penggunaan dana CSR yang merupakan cost recovery, maka pertanyaannya adalah berapa nilai cost recovery yang diberikan selama ini kepada masyarakat dengan kenyataan bahwa masyarakat belum menikmati kesejahteraan? Pertanyaan ini menjadi penting agar publik Teluk Bintuni memahami bahwa dana yang diterima bukanlah dana yang dipotong dari DBH Migas secara serampangan.
“Maka, kami minta BPK audit dana cost recovery yang diberikan kepada BP Tangguh melalui SKK Migas dan sekaligus Program CSR yang berasal/bersumber dari cost recovery. Kami meyakini bahwa dana cost recovery ini berpengaruh terhadap naik-turunnya DBH Migas yang diterima pemerintah daerah,” katanya.
Terhadap Pupuk Kaltim, Filep menyinggung perihal temuan BPK bahwa perusahaan itu belum mengajukan klaim asuransi secara penuh untuk mengganti biaya perbaikan pabrik PKT-5 sebesar Rp288,3 miliar. Hal tersebut dikarenakan dokumen belum lengkap, serta terdapat penambahan premi asuransi yang tidak diikuti dengan perubahan volume dan objek pertanggungan.
Lebih lanjut, permohonan audit BPK juga ditujukan terhadap pengelolaan Dana Otsus Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat.
Dia menyoroti besarnya angggaran untuk ketiga sektor tersebut yang tidak hanya berasal dari Otsus, namun juga dari DBH Migas, masih menempatkan Papua Barat merupakan provinsi termiskin kedua se-Indonesia dengan persentase penduduk miskin sebesar 20,49% dan garis kemiskinan per kapita sebesar Rp728.619 per bulan serta IPM terendah kedua setelah Provinsi Papua yaitu 65,89.
“Dua faktor itu saja sudah menunjukkan bahwa di provinsi yang kaya gas bumi ini justru merebak kemiskinan, kesehatan yang tidak terjamin, dan pendidikan yang memprihatinkan. Ini belum termasuk fakta minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di Provinsi Papua Barat. Sebab itu, audit BPK sangat diperlukan guna menelusuri hal-hal mana yang dibiayai oleh dana pendidikan dan kesehatan,” katanya.
“Audit yang sama juga harus dilakukan terhadap penggunaan dana Otsus untuk pemberdayaan masyarakat adat . Pasalnya, sejauh penelusuran, realisasi alokasi 10% untuk sektor ini tidak terdengar informasi yang transparan dan akuntabel, selain pemberian secara diaspora terkait cost recovery dari BP Tangguh. Karena itu, perlu dilakukan audit terhadap besaran dana 10% yang diperuntukkan bagi pemberdayaan masyarakat adat. Kami meyakini audit ini dapat membuka kotak pandora kegagalan Otsus jilid 1 yang meninggalkan luka mendalam bagi Orang Asli Papua (OAP), masyarakat adatnya, dan tanahnya,” ujar Filep.
“Namun pada kenyataannya, untuk PT SBK belum pernah ada audit menyeluruh, ada dugaan kerugian, dan perusahaan ini diduga non-feasible. Selanjutnya, PT SKT bahkan diduga sudah tutup. Berdasarkan kondisi yang demikian, patut dipertanyakan mengenai proses pengaturan deviden apabila PT SKT mendapat untung, dan pertanggungjawabannya diberikan kepada siapa mengingat selama ini kontribusi dari PT SKT tidak dirasakan oleh masyarakat Teluk Bintuni. Mengenai PT SIK, terdapat kontradiksi di sana karena perusahaan jasa tersebut tidak memiliki pasar tetap sehingga sangat berat untuk bersaing,” kata Filep.
Dia juga menyinggung PT STM di mana terdapat 3 armada kapal yang diluncurkan pada tahun 2018. Namun, ditemukan fakta bahwa ketiga kapal terbukti tidak sesuai dengan spesifikasi sebagaimana penjelasan pihak pembuat kapal dan kini tidak digunakan. Ketiga armada ini diperkirakan menelan biaya sekitar Rp5 miliar belum dengan biaya mobilisasi dari Jakarta, biaya perjalanan tim ke lokasi pabrik dan biaya lain-lain.
Berangkat dari berbagai temuan di atas dan implementasi penggunaan dana CSR yang merupakan cost recovery, maka pertanyaannya adalah berapa nilai cost recovery yang diberikan selama ini kepada masyarakat dengan kenyataan bahwa masyarakat belum menikmati kesejahteraan? Pertanyaan ini menjadi penting agar publik Teluk Bintuni memahami bahwa dana yang diterima bukanlah dana yang dipotong dari DBH Migas secara serampangan.
“Maka, kami minta BPK audit dana cost recovery yang diberikan kepada BP Tangguh melalui SKK Migas dan sekaligus Program CSR yang berasal/bersumber dari cost recovery. Kami meyakini bahwa dana cost recovery ini berpengaruh terhadap naik-turunnya DBH Migas yang diterima pemerintah daerah,” katanya.
Terhadap Pupuk Kaltim, Filep menyinggung perihal temuan BPK bahwa perusahaan itu belum mengajukan klaim asuransi secara penuh untuk mengganti biaya perbaikan pabrik PKT-5 sebesar Rp288,3 miliar. Hal tersebut dikarenakan dokumen belum lengkap, serta terdapat penambahan premi asuransi yang tidak diikuti dengan perubahan volume dan objek pertanggungan.
Lebih lanjut, permohonan audit BPK juga ditujukan terhadap pengelolaan Dana Otsus Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat.
Dia menyoroti besarnya angggaran untuk ketiga sektor tersebut yang tidak hanya berasal dari Otsus, namun juga dari DBH Migas, masih menempatkan Papua Barat merupakan provinsi termiskin kedua se-Indonesia dengan persentase penduduk miskin sebesar 20,49% dan garis kemiskinan per kapita sebesar Rp728.619 per bulan serta IPM terendah kedua setelah Provinsi Papua yaitu 65,89.
“Dua faktor itu saja sudah menunjukkan bahwa di provinsi yang kaya gas bumi ini justru merebak kemiskinan, kesehatan yang tidak terjamin, dan pendidikan yang memprihatinkan. Ini belum termasuk fakta minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan di Provinsi Papua Barat. Sebab itu, audit BPK sangat diperlukan guna menelusuri hal-hal mana yang dibiayai oleh dana pendidikan dan kesehatan,” katanya.
“Audit yang sama juga harus dilakukan terhadap penggunaan dana Otsus untuk pemberdayaan masyarakat adat . Pasalnya, sejauh penelusuran, realisasi alokasi 10% untuk sektor ini tidak terdengar informasi yang transparan dan akuntabel, selain pemberian secara diaspora terkait cost recovery dari BP Tangguh. Karena itu, perlu dilakukan audit terhadap besaran dana 10% yang diperuntukkan bagi pemberdayaan masyarakat adat. Kami meyakini audit ini dapat membuka kotak pandora kegagalan Otsus jilid 1 yang meninggalkan luka mendalam bagi Orang Asli Papua (OAP), masyarakat adatnya, dan tanahnya,” ujar Filep.
tulis komentar anda