Integrasi Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum di Indonesia: Suatu Kajian Filsafat Hukum
Minggu, 30 Juni 2024 - 18:15 WIB
Oleh karena itu, oposisi yang sehat adalah yang argumentasinya selalu mendasarkan pada data dan fakta. Menariknya adalah antara pemerintah dan opoisisi adalah berusaha memecahkan masalah di masyarakat dengan metode yang berbeda. Adu argumen dan data inilah yang membawa pada kedewasaan berdemokrasi.
Namun konsep ini tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem kekeluargaan. Permusyawaratan dan demokrasi di Indonesia jika sesuai dengan nilai-nilai Pancasila akan lebih mantap, karena merupakan intisari dari peradaban yang ada di Indonesia.
Berkaitan dengan musyawarah, hakikat Musyawarah dapat disisir kembali melalui pergulatan pemikiran Soekarno sebagaimana disampaikan pada Sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 berikut rangkaian penjelasan Soekarno dalam berbagai kesempatan seperti kursus Pancasila, kita akan mudah menyepakati bahwa secara metodologis, sila keempat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan bahkan masing-masing sila dalam Pancasila merupakan hasil dari proses yang bersifat induktif.
Dalam proses itu, praktik-praktik empiris bermusyawarah yang berlangsung lama dan ditemukan luas dalam masyarakat Indonesia dengan setting yang berbeda-beda menjadi referensi dasar. Musyawarah juga disebut tradisi berembug atau rembug merupakan sistem tradisional dari dialog timbal balik, konsultasi, permusyawaratan, dan pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan.
Dengan demikian, musyawarah merupakan abstraksi dari pengalaman empiris masyarakat Indonesia, bukan premis yang diterjemahkan secara deduksi dari dunia ide. Soekarno menegaskan, Pancasila dan juga musyawarah dia gali dari bumi Indonesia, bukan berasal dari dirinya. Setiap sila inheren dalam masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang diprekenalkan dari atas.
Agar dimensi operasional demokrasi di Indonesia tidak terjebak menjadi elitis/oligarkis, maka nilai dasar Pancasila niscaya dijalin dengan prinsip dasar demokrasi. Dengan demikian, harmoni sebagai nilai dasar Pancasila yang di dalamnya juga terkandung nilai kekeluargaan, kegotongroyongan, serta kebersamaan niscaya dijalin dengan kedaulatan rakyat dan partisipasi warga negara secara berkelanjutan sebagai prinsip dasar demokrasi.
Kebutuhan untuk menjalinkan nilai dasar Pancasila dengan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memungkinkannya untuk diberikan nilai-nilai baru yang segar agar Pancasila tidak kehilangan nilai aktualitasnya tanpa kehilangan nilai filosofisnya.
Apalagi perumusan kedaulatan rakyat dalam UUD Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 2) telah terjadi pergeseran dari kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” semakin memperkuat pemikiran untuk memberi makna baru terhadap demokrasi berdasarkan Pancasila.
Pancasila dalam konteks demokrasi dapat diilustrasikan sebagai jiwa bangsa yang tercermin dalam asas-asas hukum adat sebagai manifestasi nilai kekeluargaan. Konsekuensi cara berpikir ini membuat kita memeriksa kembali dengan seksama berbagai praktik yang terjadi dan mewakili sekaligus mengekspresikan gagasan musyawarah dalam pengalaman konkret masyarakat terutama di Bali.
Salah satu contohnya adalah Sangkepan, tradisi yang dilaksanakan di desa adat dan banjar-banjar di Bali. Dalam Sangkepan, sistem voting kurang dikenal dalam praktek musyawarah Bali kuno. Prinsip musyawarah mufakat dalam Sangkepan terutama berkaitan dengan tata kehidupan adat, budaya dan agama di masyarakat Bali.
Namun konsep ini tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem kekeluargaan. Permusyawaratan dan demokrasi di Indonesia jika sesuai dengan nilai-nilai Pancasila akan lebih mantap, karena merupakan intisari dari peradaban yang ada di Indonesia.
Berkaitan dengan musyawarah, hakikat Musyawarah dapat disisir kembali melalui pergulatan pemikiran Soekarno sebagaimana disampaikan pada Sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 berikut rangkaian penjelasan Soekarno dalam berbagai kesempatan seperti kursus Pancasila, kita akan mudah menyepakati bahwa secara metodologis, sila keempat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan bahkan masing-masing sila dalam Pancasila merupakan hasil dari proses yang bersifat induktif.
Dalam proses itu, praktik-praktik empiris bermusyawarah yang berlangsung lama dan ditemukan luas dalam masyarakat Indonesia dengan setting yang berbeda-beda menjadi referensi dasar. Musyawarah juga disebut tradisi berembug atau rembug merupakan sistem tradisional dari dialog timbal balik, konsultasi, permusyawaratan, dan pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan.
Dengan demikian, musyawarah merupakan abstraksi dari pengalaman empiris masyarakat Indonesia, bukan premis yang diterjemahkan secara deduksi dari dunia ide. Soekarno menegaskan, Pancasila dan juga musyawarah dia gali dari bumi Indonesia, bukan berasal dari dirinya. Setiap sila inheren dalam masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang diprekenalkan dari atas.
Agar dimensi operasional demokrasi di Indonesia tidak terjebak menjadi elitis/oligarkis, maka nilai dasar Pancasila niscaya dijalin dengan prinsip dasar demokrasi. Dengan demikian, harmoni sebagai nilai dasar Pancasila yang di dalamnya juga terkandung nilai kekeluargaan, kegotongroyongan, serta kebersamaan niscaya dijalin dengan kedaulatan rakyat dan partisipasi warga negara secara berkelanjutan sebagai prinsip dasar demokrasi.
Kebutuhan untuk menjalinkan nilai dasar Pancasila dengan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memungkinkannya untuk diberikan nilai-nilai baru yang segar agar Pancasila tidak kehilangan nilai aktualitasnya tanpa kehilangan nilai filosofisnya.
Apalagi perumusan kedaulatan rakyat dalam UUD Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 2) telah terjadi pergeseran dari kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” semakin memperkuat pemikiran untuk memberi makna baru terhadap demokrasi berdasarkan Pancasila.
Pancasila dalam konteks demokrasi dapat diilustrasikan sebagai jiwa bangsa yang tercermin dalam asas-asas hukum adat sebagai manifestasi nilai kekeluargaan. Konsekuensi cara berpikir ini membuat kita memeriksa kembali dengan seksama berbagai praktik yang terjadi dan mewakili sekaligus mengekspresikan gagasan musyawarah dalam pengalaman konkret masyarakat terutama di Bali.
Salah satu contohnya adalah Sangkepan, tradisi yang dilaksanakan di desa adat dan banjar-banjar di Bali. Dalam Sangkepan, sistem voting kurang dikenal dalam praktek musyawarah Bali kuno. Prinsip musyawarah mufakat dalam Sangkepan terutama berkaitan dengan tata kehidupan adat, budaya dan agama di masyarakat Bali.
Lihat Juga :
tulis komentar anda